Setelah saat ini saya merenungkan kejadian itu, ada satu hal yang saya sadari soal kesenjangan pendidikan Inggris dan Indonesia. Yaitu "well-being".
Keterasingan yang saya alami saat itu saya sadari karena pergumulan saya itu tidak dianggap krusial oleh orang Indonesia. Rasa depresi saat studi itu bukanlah persoalan berarti bagi orang Indonesia.
Sepanjang saya studi dari S1 sampai S2, persoalan studi itu ditanggung sendiri oleh mahasiswa. Paling tinggi kalau masalah finansial, ya pergi curhat ke pimpinan kampus. Kalau masalah mental, itu urusan mahasiswa sendiri. Apalagi saat pandemi begini.
Bagi orang Indonesia, punya masalah mental itu artinya KAMU LEMAH !
Sangat berbeda dengan sistem di Inggris. Semua perangkat diarahkan untuk hanya sekedar "say Hi", mengecek keberadaan kita. Mulai dari staf admin pascasarjana, mentor studi (Dosen Pembimbing Akademik kalau di Indo), senior PhD, rekan sejawat sampai dosen pembimbing.
Di Indonesia, saya tidak pernah bisa membayangkan ada Dosen Pembimbing yang bersedia mendengar curhatan kita.
"Well-being" mahasiswa itu sangat diutamakan oleh kampus di Inggris.Â
----------------
Lanjut cerita, kondisi mental yang pelik itu mendorong kami sekeluarga untuk membuat  keputusan yang nekat. Yang waktu itu tidak didukung oleh banyak orang.
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H