Itulah kepintaran ku, kala melobi para petani dengan topeng kedermawanan dan keikhlasan. Bahkan tidak hanya petani saja, tetapi para penguasa di desaku maupun didaerah lainya pun, ikut-ikutan seperti para petani. Kala mereka hendak maju dalam kontestasi pilkades, pilkada maupun pileg.Â
Mereka datang berduyun-duyun untuk meminta bantuan sokongan dana. Dan akupun dengan suka rela membantu mereka.
Dan setelah mereka duduk di kursi empuk dengan segala pengaruh kekuasaannya. Mereka pasti dengan senang hati, mau mendukung keinginan ku. Demi kemajuan usahaku.Â
Bahkan mereka sudi membuat peraturan petani. Yang tidak boleh menjual hasil panennya kepasar-pasar atau tengkulak- tengkulak lainya.
Meskipun kebijakan tersebut sudah membuat banyak pengusaha-pengusaha beras pada mengamuk. Tapi aku tidak memperdulikan hal tersebut.
Karena aku tidak meminta hal itu secara langsung. Selain itu juga, karena aku selalu memberikan bantuan berupa uang dan lainya secara cuma-cuma. Sedangkan para saingan ku tidak pernah memberikan hal tersebut kepada para petani maupun penguasa di desa atau didaerah antah berantah ku.
Apalagi kala beras harganya tinggi. Para petani pun tidak bakalan menjerit, sebab mereka sudah punya simpanan gabah tuk dijadikan beras.Â
Itulah aku, si juragan beras dari daerah antah beratah. Yang hartanya berlimpah ruah, dengan rumah mewah, mobil wah dan hamparan sawah.Â
Kini, akupun mulai merambah kebisnis wisata. Lantaran ada kemudahan aturan dari para penguasa yang dulu. Aku pinjami uang, Kala hendak ikut pilkada.
Gubrakkkkkkkkk brakkk. "Bangun-bangun sudah siang. Sana kerja jangan tiduran melulu". Teriak istriku sambil terus ngomel-ngomel didepan ku.Â
Waduh...ternyata itu hanya mimpi.