Perempuan di Balik Jendela
Nyatanya dia masih terjebak dalam kenangan masa lalu. Terpasung dalam rindu-rindu yang menyiksa. Kadang ia bertanya pada Sang Maha yang layak dirindui. Apakah seperih ini perasaan rindu mendera.
Nyatanya ia masih bertopang dagu di di balik jendela kayu rapuh itu. Memandang kenangan-kenangan yang menguar begitu saja di depan mata. Memenuhi segala yang dipandang sampai batas yang tak lagi dapat dijangkau netra itu.
Nyatanya ia masih berdiri pilu di balik jendela itu. Sendirian. Membisikkan dengan keras perihal rindunya agar semesta mendengar. Meneriakkan dengan lirih perihal sesaknya merindu, agar udara yang ia hirup tak mendengar kesedihannya.
Apa yang lebih menyakitkan dibandingkan perempuan di balik jendela itu. Merindu dengan sendiri. Menangis dalam sepi. Kepada siapa ia harus mengaduhkan rasa rindu itu. Kepada langit malamkah. Kepada kesunyiankah. Atau kepada puisi-puisinya yang mulai rapuhkah. Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H