Baru-baru ini, masyarakat di berbagai belahan dunia dikagetkan dengan kejadian yang melanda negara Prancis yang terkenal dengan Menara Eifel tersebut. Kejadian ini menarik perhatian dari seluruh masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Perhatian itu ditunjukan dengan munculnya berbagai status di media sosial seperti Facebook dan BBM yang mengajak para pengguna sosial untuk turut mendoakan negara Prancis. Tidak hanya status saja, desain foto profil bergambarkan bendera Prancis pun turut mewarnai dinding facebook para pengguna media sosial ini. Tidak mengapa, jika ini merupakan bagian dari simpati masyarakat Indonesia bagi masyarakat Prancis yang sedang dirundung duka. Namun sangat disayangkan, apabila hal ini hanya dilakukan untuk menunjukan kebolehan dan menarik simpati dari pengguna media sosial lainnya. Apakah ini bukan “narsisme” ala Indonesia? Ya, ini “narsisme” ala Indonesia.
Saya mengatakan “narsisme” ala Indonesia, dengan alasan yang kuat. Alasan saya berkaitan dengan masalah-masalah sosial yang sedang dialami negara ini. Di saat kebakaran membumihanguskan negara ini, hanya sedikit pengguna media sosial yang menunjukan keprihatinannya. Di saat anak-anak negeri ini menangis, hanya sedikit orang saja yang turut memberikan kepedulian mereka. Tapi, ketika negara lain mengalami masalah yang sesungguhnya tidak memiliki kaitan dengan Indonesia, masyarakat Indonesia justru berlomba-lomba menunjukan rasa simpati mereka (atau mungkin bukan rasa simpati).
Sepertinya “narsisme” ala Indonesia ini semacam mencari perhatian sesama pengguna media sosial. Narsisme tersebut merupakan social action yang selalu menjadi bagian dalam kehidupan berbangsa di negara ini. Social action atau tindakan sosial tersebut mengindikasikan bahwa orang Indonesia selalu ingin diperhatikan. Karena ingin diperhatikan, maka mereka harus melakukan sesuatu yang menarik perhatian orang lain, supaya mereka dibanggakan.
Bukankah lebih baik membuka mata dan melihat realitas disekitar kita? Bukankah lebih baik membuka telinga dan mendengar jeritan sesama anak bangsa yang sedang menangis karena hidup mereka dibakar? Bukankah lebih baik mengulurkan tangan kepada sesama anak bangsa yang “identitas” diri mereka sedang diinjak-injak? Bukankah ini yang lebih baik dilakukan, daripada banyak menunjukan simpati yang belum tentu diketahui oleh masyarakat negara Prancis? Marilah kita sedikit peduli dengan realitas masyarakat kita sendiri, sebelum kita peduli dengan orang lain. Bagaimana kita dikatakan merdeka sesungguhnya, jika masih ada suara tangisan yang berkumandang di berbagai belahan bumi Indonesia ini. Suara tangisan itu, membutuhkan uluran tangan kita, bukan sekedar status dan foto profil yang kren dan cantik. Tetapi aksi nyata kita itulah yang terpenting. Karena itu lakukan terlebih dahulu kepada sesama anak bangsa, sesudah itu baru lakukan kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H