Mohon tunggu...
Abdussalam J. Yamjirin
Abdussalam J. Yamjirin Mohon Tunggu... Guru - Teacher, Art, Linguistics, Classic Literature

Merayap senyap di sela ilalang kata, meniti jejak samar pijar dunia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perjodohan Paksa dalam Perspektif Islam, Undang-undang, dan Kemanusiaan

29 Maret 2024   19:06 Diperbarui: 31 Maret 2024   04:14 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjodohan paksa, sebuah praktik primitif yang masih membelenggu sebagian masyarakat kelas bawah, merupakan fenomena kompleks yang sarat dengan konsekuensi negatif. Praktik ini sering dikaitkan dengan minimnya akses pendidikan yang layak, berakibat pada kurangnya pengetahuan tentang HAM (hak asasi manusia), khususnya hak-hak wanita.

Selain karena rendahnya pendidikan, perjodohan paksa termasuk simbol dari rendahnya status sosial dan kekayaan seseorang. Anak wanitanya diposisikan sebagai komoditas untuk "diperjualbelikan" demi keuntungan keluarga. Baik untuk menaikkan status sosial dengan mendapatkan menantu kaya dan terhormat, atau karena sungkan menolak lamaran akibat rendahnya harga diri orang tuanya dibanding orang yang melamar maupun yang menawarkan.

Lantas bagaimana Islam dan UU Indonesia memandang fenomena masyarakat kelas terbelakang ini?

PANDANGAN ISLAM TERHADAP PRAKTIK PERJODOHAN PAKSA

Rasulullaah bersabda:

 اَتُنكَحُ اْلأيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
"Wanita yang sudah pernah menikah (janda) tidak boleh dinikahkan sehingga diminta perintahnya*, dan wanita perawan tidak boleh dinikahkan sehingga diminta ijin(nya)**." (lihat: HR. Imam Muhammad bin Ismail 5133, 5134 dan Muslim 1422)
*wanita janda tak boleh dinikahkan kecuali ia sendiri yang meminta.
**wanita perawan tak boleh dinikahkan kecuali ia mengizinkan/ridho, bukan karena dipaksa.

Dalam riwayat lain

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا
"Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya." (HR. Muslim no. 1421) 

Ibnu Hajar Al-Asqalani, imam hadits terkemuka dari madzhab Syafi'i memberikan catatan:

  إن الترجمة معقودة لاشتراط رضا المزوجة بكرا كانت أو ثيبا صغيرة كانت أو كبيرة ، وهو الذي يقتضيه ظاهر الحديث
“Judul bab ini menjelaskan, bahwa disyaratkannya ridho dari mempelai wanita (dalam pernikahan), baik yang masih gadis ataupun janda; janda muda ataupun tua. Inilah yang sesuai dengan dzohir hadis.” (Fathul Bari)

Artinya, dalam Islam, ridhonya wanita apabila sudah baligh untuk dinikahkan adalah syarat pernikahan.

Pernikahan baru sah jika kedua mempelai saling ridho untuk menikah, tidak dengan dipaksa. Termasuk juga apabila orang tua memaksa anak perempuannya atas nama "taat pada orang tua". 

LALU BAGAIMANA JIKA ORANG TUA NEKAT MENJODOHKANNYA?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun