Sore itu emak mertua dan ibu-ibu famili istri sibuk di dapur. Mereka menyiapkan maulid besok di rumah mertua. Ada yang mengulik bumbu dan memarut kelapa. Pokoknya di tangan mereka ada pekerjaan dapur. Uap masakan, dan hawa dingin di Jorong Gantiang menembus ruang tamu. Tak luput tumpukan durian di teras rumah mertua, menebar perang aroma. Ada aroma durian, gulai dan rendang kambing serta aneka sambal yang menerobos indera pencium kami di ruang depan.
Si Emak bilang, besok ada maulid di rumah. Ini suatu yang tak biasa. Yang saya tahu, maulid biasanya diadakan di majid, kantor atau di sekolah. Bukan di rumah penduduk. Namun kali ini, informasi si Emak benar-benar memompa rasa penasaran. Maulid di kampung saya Baranusa-NTT, perayaan maulid standar saja. Diawali pembacaan ayat suci Al qur’an, ceramah tentang kelahiran Nabi, makan-makan dan bubar.
Berbeda dengan kampung ku di pelosok NTT, maulid di Jorong Gantiang-Tanah Datar, adalah momentum puji-pujian kepada nabi Muhammad dan bersyukur atas hasil panen. Kekuatan tradisi Minang begitu kental dalam rangkaian acara maulid, terutama pada syair-syair salawatan. Informasi ini saya dapatkan dari istri yang berdarah Minang sebelum kami libur ke kampung halamannya. "Bang, kalau mau berlibur di musim maulid saja, nanti abang akan mendapat banyak hal di momen maulid nabi." Begitu kata istriku.
Rasa penasaran pada Maulid tertunda hingga besok hari. Kira-kira pukul delapan lebih sedikit, para tetamu sudah ada di rumah mertua. Ibu-ibu sibuk menanak nasi, dan memindahkan lauk-pauk dari kuali ke piring. Kepulan asap dapur menembus ruang tamu.
Kepulan asap membawa aroma sambal pete, rendang dan gulai kambing mengusik hidung. Rasa lapar dan penasaran tentang maulid beraduk jadi satu. Tak berapa lama kemudian, bapak-bapak itu mendendangkan salawat saling bersahutan.
Ada syair Arab bercampur Minang. Mereka bergantian melagukannya. Ada suara fals, merdu dan cempreng jadi satu. Saya tak tahu persis arti kata-perkata yang didendangkan. Sekilas bisa ditangkap, alunan salawat berisi pujian pada nabi Muhammad saw.
Selawatan ini dimulai dari pukul 8.00. Hingga pukul 11.30, bapak-bapak itu istirahat sejenak mencicipisnek. Setelah itu, salawat maulid dilanjutkan. Tak ada satu pun yang beranjak dari tempat duduk. Saya yang tak biasa duduk lama-lama, akhirnya tepar juga ke kamar tidur.
Acara selawat baru selesai pukul 13 lebih sedikit. Acara selawatan di akhiri dengan sepata dua kata dari kepala suku Jambak Batino (nama suku dari keluarga istri saya). Saya berusaha memahami dialog antara kepala suku dan wakil pemuka agama Jorong Gantiang.
Intinya mereka saling meminta berkah dari acara maulid ini. Setelah dialog usai, ibu-ibu di dapur pun menyajikan hidangan. Sudah pasti aneka kuliner khas Minang. Acara makan-makan di mulai. Makanan disajikan dalam dulang dengan berbagai rupa lauk serba santan dan cabe. Para tetamu mengambil satu demi satu lauk yang disajikan.
Di Minang ada etika saat makan. Diacara-acara seperti maulid ini, sebelum makan selalu didahulukan dengan pidato; sekato dua kato. Saat makan, lauk yang enak disantap diakhir. Makanan yang didahulukan biasanya kuah dan sayur. Daging, ikan dan lauk-lauk enak lainya secara berangsur diambil kemudian diakhir.
Kebiasaan makan di Minang dikenal dengan batambua, artinya kebiasaan menambah. Oleh sebab itu saat awal makan, nasi diambil sedikit-sedikit. Para tetamu yang datang pun biasanya duduk di sudut ruangan. Sedangkan tuan rumah duduknya dekat pintu ke arah dapur. Seusai makan, etikanya para tamu dipersilahkan lebih dulu mencuci tangan. Filosofinya; menjaga etika dengan para tetamu. Kalau tuan rumah lebih dulu mencuci tangan, itu artinya mengusir para tetamu.