Setiap hari jumat, ada dua panggilan ke masjid Sunda Kelapa; pertama panggilan Tuhan, kedua panggilan kuliner. Panggilan Tuhan dan kuliner nyaris harmonis; mengandaikan salat jumat dan kuliner menyatukan dua pesona. Pesona spiritual dengan khatib dan imam salat jumat yang berkualitas. Sementara kuliner punya pesona cita rasa yang moi sedapnya. Setelah salat jumat dan mengecap aneka kuliner di sana, rasa-rasanya hidup sudah komplit. Kenikmatan spiritual tentu membutuhkan hal-hal duniawi, dan mungkin itu bisa ditemukan dalam cita rasa tahu gejrot bin Gujarat.
Mas-mas paru baya memakai blankon Jawa duduk di bangku kecil plastik. Tangannya sibuk mengulek cabe, bawang merah, dan gula merah. Dua bakul berisi tahu goreng full. Kedua tangannya super sibuk berganti. Tangan kiri mengulek bumbu, tangan kanan menjangkau gula merah di botol. Tingkat pedasnya tinggal dipilih, mau tak pedas, sedang atau pedas tingkat tinggi; tinggal jumlah cabe rawit diatur si mas berdasarkan pesanan.
Melewati aula masjid Sunda Kelapa bagian bawah, sebelah kanan tangga masjid, tukang tahu Gejrot bin Gujarat itu nangkring. Bila berpapasan, aroma bawang dan cabe sudah menusuk indera pencium. Hawa masjid yang dingin dengan AC di sekeliling sudut, segera pudar dengan sengatan pedasnya tahu gejrot.
“Mas, saya satu ya, pedasnya sedang.” Begitulah suara-suara pembeli berderet antri memesan tahu gejrot setelah jumatan. Si tukang tahu gejrot itu namanya mas Mamat. Rata-rata orang yang biasa salat jumat di masjid Sunda Kelapa menyebut tahu gejrot mas mamat dengan “tahu Gujarat.” Tapi bukan Gujarat di India sana. Karena namanya tahu gejrot, diplintir jadi Gujarat. Entahlah apakah di India sana orang makan Tahu seperti di Indonesia.
Di Indonesia, sampai-sampai untuk menyimbolkan diri sebagai anak rakyat, biasanya orang sering bilang “saya anak tahu dan tempe.” Artinya dia anak rakyat biasa yang tiap hari cuma makan tahu dan tempe. Bukan roti keju atau makan jankfood di mall papan atas. Atau ngopi di kafe mewah yang kini punya image “cianida.”
Satu porsi tahu gejrot Gujarat Rp.8000. Harganya murah tapi kelasnya di atas rata-rata. Karena tak sedikit orang berdasi bakda jumat ikut nimbrung makan tahu gejrot. Bukan apa-apa, tapi memang tahunya enak. Komposisi dan ukuran bumbunya pas di lida. Rasa cabe, bawang merah dan gula merah bersekongkol bikin lida anda penasaran. Sekali coba rasanya pedas, tapi langsung menohok selera dan ingin sekali lagi; dan terus.
Sebelum menikmati Soto Lamongan di depan gapura masjid, sebaiknya pancing dulu selera makan di tahu gejrot bin Gujarat pak Mamat. Sampai-sampai anak saya yang anti tahu merajuk tiba-tiba, “yah, aku mau tahu gejrot juga.”
Sebelumnya saya selalu mampir di kedai es cendol khas Minang si uni depan masjid Sunda Kelapa selepas salat jumat, tapi kini pindah kiblat cita rasa setelah si uni entah kemana rimbanya. Beralih ke tahu gejrot, sebagai panggilan rasa pencinta kuliner cinta sejati. Dimomen-momen itulah hidup seperti lengkap saja, setelah mengisi kebutuhan spiritual di salat jumat, kebutuhan jasmani pun tak kalah penting diisi, tentu tahu gejrot bin Gujarat pak Mamat, bisa menjawabnya. Anda mau coba? Tapi salat jumat dulu. Jangan cuma ingin tahu gejrotnya saja. Selamat mencoba. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H