Sejak Almarhum Ayah pergi, rumah di kampung terasa sepi. Lebaran dua tahun lalu, saya sempat pulang, tapi tak semeriah dulu; sewaktu masih ada ayah. Ayah adalah sosok yang luar biasa dalam hidup saya.
Ia mengajarkan tentang keberanian, tentang tanggung jawab. Saya bahkan bisa bertani, menjadi nelayan memperbaiki atap rumah yang bocor, dan semua pekerjaan kaum lelaki, karena berbekal keteladanan ayah yang begitu kuat dalam masa-masa pertumbuhan kami.
Sejak SD kelas dua, ayah mengajari saya cara menangkap ikan dengan “bubu.” Setiap hari sepulang sekolah, saya dan ayah menaruh bubu di pesisir Pulau Kura. Hasil tangkapan kami lumayan banyak. Sehari bisa dapat 20-30 ekor ikan.
Ayah tak menjual ikan-ikan hasil tangkapan, tapi dibagi ke para tetangga di sekitar rumah kami. Di musim tanam, tak luput kami pergi ke ladang membersihkan kebun. Hingga musim panen, ayah selalu mengajak kami bermalam di kebun menjaga padi dan jagung agar tak di makan babi hutan dan rusa.
Malam harinya, saya dan saudara-saudara sepupu menyaksikan indahnya kerlap-kerlip kunang-kunang, sembari nongkrongin jagung bakar dan api unggun. Pagi harinya kami sudah berjejal menyisir pantai pulang ke Baranusa untuk sekolah.
Sepulang sekolah, kami kembali lagi ke ladang membantu ayah dan ibu yang seharian bekerja membersihkan rumput dan mengusir hama. Kadang sepulang sekolah kami tak langsung ke ladang, tapi menghabiskan waktu bermain di laut. Atau kadang kami habiskan waktu memancing hingga jelang sore.
Seusai mancing, kami kembali ke ladang dengan hati girang bukan kepalang karena membawa beberapa ekor ikan hasil tangkapan untuk ayah dan ibu. Malam harinya ikan-ikan itu kami bakar untuk lauk menemani jagung muda rebus. Kami selalu makan mengelilingi api unggun. Sementara ayah, ibu dan paman, terlibat diskusi kecil soal persiapan panen. Begitulah masa-masa kecil bersama ayah dan ibu.
Tak kalah dengan ayah, ibu pun sosok yang ulet. Supaya kami berlima menjadi sarjana, belasan tahun tangan ibu melepuh mengayuh perahu dari Baranusa-Maliang pulang-pergi (PP) setiap hari senin untuk berdagang sembako.
Pukul empat pagi, ibu dengan perahu kecilnya sudah penuh dengan muatan sembako. Kira-kira hampir satu setengah jam, ibu mengayuh perahu sendiri ke Maliang. Sampai di sana, ibu menggelar jualan sembako dan akan kembali ke Baranusa sekitar pukul 12 siang.
Jam-jam itu cuaca laut mulai tak bersahabat. Yang jelas, sekembali dari pasar, ibu pasti menerjang gelombang, terpaan angin dan di bawah terik panas menyengat. Selama bertahun-tahun sejak kami SD hingga sarjana, tangan ibu terus mengayuh sampan kecilnya dengan peluh dan semangat yang tak putus, agar kami bisa meraih secarik kertas yang menganugerahi kami sebagai seorang sarjana. Itulah satu-satunya kebanggaan ibu.
Kadang saya selalu berfikir, bahwa gelar sarjana kami teramat mahal. Kami meraih semua ini di atas keringat seorang ayah yang tak pernah berhenti berjemur panas di ladang dan seorang ibu setengah baja yang tak lekang di hadang gelombang dan badai.