[caption id="attachment_338589" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu kuliner kahas NTT, Jagung Bose dan Daging se"][/caption]
Oleh Menpan (Yudi Krisnandi) : Mulai 1 Desember 2014, seluruh jajaran instansi pemerintahan wajib menyuguhkan makanan lokal dalam setiap acara resmi pemerintahan. Oleh harian Kompas edisi 27 November 2014, merilis anjuran Menpan itu sudah tersebar melalui surat edaran resmi; tertera Nomor 10 Tahun 2014.
Bahkan oleh Menpan, akan ada sanksi bagi instansi pemerintahan yang mengindahkan anjuran tersebut. Ada beberapa sanksi bagi aparat pemerintah yang mengindahkan instruksi ini. Sanksinya mulai dari administrasi sampai pada penundaan pembayaran tunjangan.
Tentu kita setuju dengan ide bernas ini, karena paling tidak, konkretisasi diversifikasi pangan sudah dimulai dari institusi pemerintah. Ruh dan semangatnya sudah dimulai dari pemerintah. Manfaat lain yang bisa dirasakan adalah, dalam rangka efisiensi belanja birokrasi pemerintah.
Pemerintah selalu berkoar-koar soal isu ketahanan pangan hingga wacana domestic food security, tapi apa lacur, dalam prakteknya cenderung tak linier. Gagasan Menpan kali ini cukup menyengat. Bila perlu, dalam nomenklatur anggaran kepanitiaan pemerintah daerah, alokasi untuk seksi konsumsi, standar pagunya menggunakan asumsi panganan lokal. Jadi harga konsumsi per orang tidak diukur dengan harga nasi Padang ! Ini bisa menghemat belanja.
Diacara-acara resmi instansi pemerintah, alokasi anggaran konsumsi untuk setiap kegiatan seperti work shop, seminar atau loka karya dan pelatihan lainnya terbilang cukup mahal. Bahkan untuk jenis prasmanan bagi instansi pemerintah dengan skala kegiatan tertentu, biasanya melalui proses tender. Yang menang tender juga orang-orang dekat pejabat pemda (istri, anak dan kerabat). KKN lagi. Kebijakan Menpan ini tentu dalam rangka penghematan dimaksud, agar disbursement belanja birokrasi tak terlalu menyunat anggaran pemerintah dari sisi konsumsi kegiatan.
Bagaimana dengan pemerintah daerah NTT?
Mau tak mau pemerintah daerah NTT (provinsi/kab/kota) harus menerima ini. Dan diacara-acara resmi pemda, kita sudah siap dengan kuliner lokal seperti, jagung katema, jagung bose, jagung titi, kue rambut, nasi jagung, ubi rebus Nuabosi dan kuliner lokal lain asli NTT. Kita membayangkan, selain hemat anggaran, betapa nikmatnya makan jagung katema di acara seminar yang diselenggarakan pemprov NTT. Ini momentum gerakan mencintai kuliner lokal !
Dengan asumsi makan jagung katema di acara resmi Pemda NTT, maka kita pun membayangkan, kesiapan hotel-hotel berbintang di NTT dalam menyiapkan bahan panganan lokal, bila sewaktu-waktu ada kegiatan resmi pemda yang diselenggarakan di Hotel. Makan jagung katema atau jagung bose di Hotel Kristal atau Aston Kupang. Luar biasa.
Dengan kebutuhan yang tinggi terhadap bahan panganan lokal bagi hotel-hotel untuk acara pemda, maka permintaan bahan panganan lokal asli NTT pun akan meningkat dan ikut menstimulasi petani jagung dan ubi di NTT untuk meningkatkan produktifitasnya.
Kuliner simbol identitas
Pesan lain yang ingin saya sampaikan adalah, kuliner dari sudut pandang lain merupakan suatu pilar peradaban. Pada peradaban masa lalu, para kaisar atau raja, selalu menempatkan kuliner sebagai struktur penting citra kerajaan. Seperti pesta ritual jenis makanan tertentu dll. Begitupun kuliner sebagai simbol pesan bagi ritus-ritus tertentu kerajaan dan rakyatnya.
Semakin maju suatu peradaban, semakin masif pula komponen peradabannya menghegemoni struktur sosial dan ekonomi masyarakat dunia. Masifnya jenis makanan junk food seperti KFC, Pizza Hut dll, adalah simbol hegemoni suatu jenis kuliner tertentu atas cita rasa masyarakat lokal. Maka suatu masyarakat yang mengalami displacement identity, begitu kuat lida dan cita rasanya terhegemoni oleh panganan impor seperti di atas (KFC, Pizza dll).
Maka kita pun tak heran, kenapa jenis panganan luar NTT seperti nasi Padang dan kuliner asal luar NTT lainnya begitu kuat mengikat cita rasa kita. Hal ini karena dari struktur peradaban, mereka ekspansif, lebih kuat dan maju.Sementara kita belum memulainya, atau baru memulai !
Mari kita bertanya, seberapa sering orang di Sumatera sana, makan jagung bose atau jagung katema, bila dibandingkan kita yang begitu sering makan rendang Padang? Dengan pertanyaan ini, kita kemudian bertanya lagi, apakah struktur bahan dan bumbu kuliner lokal NTT kalah jauh dari masakan Padang? Atau lida kita yang terlalu pahit untuk jenis panganan lokal NTT? Ataukah kita yang telah mengalami displacement identity?
Maka ketika Menpan Yudi Krisnandi mewajibkan makanan lokal bagi acara instansi pemerinatahan, saya melihatnya ini kesadaran yang baik. Semoga Yudi jujur, bukan untuk pencitraan. Gagasan Menpan ini meski bukan ide baru, tapi niat pemerintah begitu kuat melembagakan isu panganan lokal. Artinya pemerintah konkret memulai. Mari kita melihat, bahwa kuliner tak sekedar alat pengenyang, tapi lebih dari itu, kuliner adalah bagian struktur nilai suatu masyarakat, sebagai identitas atau jati diri. Mari mencintai kuliner lokal, selamat memulainya pemerintah daerah NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H