Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Natal Maleo di Pedalaman Pantar

29 Desember 2016   20:41 Diperbarui: 30 Desember 2016   09:37 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maleo si bocah di pedalaman Pantar yang ulet (Foto ; MS)

Keringat menetes dari sebelah pelipis Leo. Tali bakul yang panjang mengait separuh kepala dan rambut keritingnya. Kepala dan punggung Leo yang masih belia, sudah dihantam beban hidup yang berat. Tarikan napas Leo yang terengah-engah kecapean masih terasa. Nampak Baju Timnas Indonesia yang dipakai Leo, sudah tak berwarna. Sandal jepit Loe bermerek Yeye pun tak lagi beraturan. Tali sandal sebelah kanan diganti daun gewang yang dipintal. Rambut Leo terlihat kering dan kuning terbakar. Hawa matahari yang panas di pedalaman, membentuk postur Leo sebagai anak yang tangguh dan berotot. Leo tinggal di Latunang, Desa Kalundama Kecamatan Pantar, Kabupaten Alor-NTT.  

Leo baru saja membantu ibunya membersihkan kebun milik salah satu pengusaha daerah yang tinggal di Kota. Letak kebun kopi itu di gunung sebelah kampung Leo. Kaki Leo yang kecil, sudah terbiasa mendaki menantang hidup. Anak seusia Leo yang baru 11 tahun, sudah naik turun gunung, membantu ibunya mengais nafkah.

Selain membantu ibunya membersihkan kebun, sehari-hari Leo memikul jerigen berisi air 10 liter dari kali sebela kampung yang jaraknya sekitar 10 km untuk kebutuhan makan dan minum. Tulang kaki Leo yang kecil dipaksa berpacu dengan keadaan. Begitulah Leo mengulang hari-harinya.  

Ayah Leo sudah lima tahun rantau ke Malaysia. Alex Ayah Leo, bekerja sebagai buruh Kebun Sawit di Negeri Jiran itu. Setahun sekali ayahnya memberi kabar di hari Natal dan mengirim oleh-oleh. Namun kali ini, (2016), waktu sudah di ujung tahun, Alex tak memberi kabar apapun pada Leo, ibunya dan Nita yang baru berusia 6 tahun. Surat kosong pun tidak. Biasanya Alex mengirim surat plus uang wesel untuk keperluan Natal dan tahun baru. Tapi itu dulu.

Setahun yang lalu, Alex dikabarkan sudah menikah dengan wanita lain di Malaysia; sesama TKI dari Flores. Kabar itu diterima ibunya Leo dari warga kampung sebelah yang datang dari Malaysia. Sebagai wanita desa, Naomi pasrah menelan kabar pahit itu. Setiap mengingat Alex, Naomi hanya mengusap air mata di pojok gubuk tempat ia dan dua anaknya bernaung.

Naomi kasihan pada anak-anaknya yang masih kecil. Seiring hari berganti bulan, Naomi tak mau ambil pusing. Di kepalanya cuma berpikir dan kerja keras membesarkan sepasang anaknya; Leo dan Nita dari hasil perkawinannya dengan Alex. Selain menjadi buruh di kebun, Naomi menjual siri-pinang milik tetangga. Hasil jerih-payahnya digunakan untuk biaya sekolah Leo yang baru duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas V.

Satu-satunya harta yang ditinggalkan Alex dari hasil rantaunya ke Malaysia adalah radio-tep Made in China yang kini jadi barang rongsok di ruang tamu. Jarang digunakan, karena lebih baik beli beras dan keperluan sehari dari pada membeli batu baterai yang harganya lumayan mahal untuk ukuran keluarga Leo dan ibunya di Kampung.

 “Ma, kenapa Natal kali ini bapak tak mengirim surat dan oleh-oleh?” Suatu sore Leo bertanya pada Naomi tentang kabar Ayahnya.” Leo terkejut, ibunya tak menjawab pertanyaannya dan memanggil dengan suara keras, “Leo, coba kau ambil kayu bakar di luar kasih mama dulu.” Naomi mengalihkan pertanyaan Leo. Di depan tungku dapur, Naomi menahan tangis. Ia tak mampu menahan Air matanya yang tumpah saat mendengar pertanyaan Leo yang polos tentang ayahnya. Leo masih memikirkan adiknya yang belum memiliki baju Natal. Dan juga pohon Natal yang diimpikannya sejak lama.  

Untung Leo bukan bocah pedalaman yang mudah menyerah. Dua minggu sebelum Natal, ia mengumpulkan kayu bakar untuk dijual ke ibu Pendeta yang tak jauh dari rumah. Dari peluh hasil mengumpulkan kayu bakar, sehari jelang Natal, Leo menyaku uang Rp.150.000. Seikat kayu bakar Leo, dihargai Rp.12.500 oleh Pendeta baik hati di kampungnya.

“Ma, kalau Sabtu nanti mama ke kota, saya ikut oo…” Kata Leo pada mamanya suatu sore. “Le, mama tak punya cukup uang untuk membeli apapun untuk Natal nanti. Uang yang mama sisip di bakul, itu untuk makan kita sehari-hari.” Naomi menjawab anaknya dengan mata berkaca-kaca. Sambil menghitung-hitung uang yang disimpan dalam bakul kecilnya, Leo menimpali mamanya, “Ma, jangan takut, Leo punya uang cukup kok dari hasil mengumpulkan kayu bakar untuk Pendeta.”

Mendengar itu, Naomi memeluk erat kepala Leo. Air mata Naomi seketika tumpah membasahi kening Leo. Dengan suara terputus-putus, Naomi berbisik ke telinga anaknya, “Maafkan mama Leo, mama belum bisa memberikan kebahagiaan Natal untuk Leo dan Nita seperti anak-anak lain di Kampung.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun