Tak terasa sebentar lagi kita memasuki malam lailatul qadar. Malam ke-17 bulan Ramadhan yang di dalamnya menyimpan berkah spiritual. Malam dimana nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama; Al quran Surat Al alaq ayat 1-5. Turunnya surat Al alaq, pun menjadi bagian penting penginagurasian predikat kerasulan Muhammad SAW. Sebuah etape awal tercerahkannya peradaban umat manusia dari telikung kejahiliyaan.
Itulah kehadiran Kitab suci Al-qur'an Al Karim yang di setiap sisi nilai dan substansinya, tak hanya mendamaikan batin, tapi juga memancarkan cahaya yang menerangi sudut-sudut gelap batin umat manusia.
Umat Islam sejagad, dimalam itu, bergumul dalam pencarian keberkahan lailatul qadar. Berharap mendapatkan keberkahan, sekaligus sensasi spiritual yang diekspresikan dengan amalan-amalan sunnah hingga fajar menjelang dengan penuh khusyuk dan khidmat.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al qadr ayat 1-5, menginformasikan, malam itu (lailatul qadar) memiliki kemuliaan melebihi malam-malam lain di luar ramadan. Dalam bahasa Al quran, disebut sebagai malam yang lebih baik dari 1000 bulan.
Ibnu Rusyd, seorang filosof muslim terkenal menyebutkan, beberapa alasan mengapa malam ini disebut Lailatul qadar. Menurutnya, karena malam itu, semua ketentuan dan ketetapan yang akan dijalani manusia untuk tahun itu diputuskan. Baik berupa rizki, ajal dan lainnya.
Ketentuan ini berlaku hingga lailatul qadar tahun berikutnya. (uqaddimah Ibnu Rusyd, Juz I, hal 195). Di titik inilah, memantik kesadaran manusia, dalam membangun harapan, untuk meneguk mata air keberkahan malam lailatul qadar.
Fantasi spiritual
Ragam ritualpun berserakan. Mulai dari yang bermazhab hingga yang tak bermazhab sama sekali. Meriuh- rendah dalam hiruk-pikuk ke-Takarrub-an yang hening dengan penjiwaan yang total dan senyap di hadapan Allah. Dari yang biasa-biasa saja, hingga yang mencari sudut dan puncak kemistisan, atau sekedar tenggelam dalam fantasi dan sensasi alam kebathinan akibat penggalian spiritualitas yang teramat khidmat di malam lailatul qadar.
Di titik akhir semua lakon ubudiyah dimalam lailatul qadar, ada pencapaian yang diharapkan, yaitu mendapatkan sentuhan kemuliaan dan ketakwaan sebagaimana yang terkandung dalam perintah berpuasa dalam Al quran surat Al baqarah Ayat (183). Dimalam lailatul qadar, umat Islam mencelupkan batinnya dalam samudera spiritual. Meneguk kedamaian batin dengan segenap keberkahan yang dijanjikan Allah dalam Al quran dan hadits nabi Muhammad SAW. Kendatipun demikian, kita berharap, capaian spiritualitas di bulan ramadan, tak melahirkan kesalahen yang statis dan asosial.
Spirit sosial
Harapan menggapai derajat ketakwaan sebagaimana perintah puasa dalam QS Al baqarah Ayat (183), harus kita maknai secara kritis, baik dalam bingkai individu maupun sosial. Ketaqwaan yang akan digapai, tak sekedar kesalehan vertikal pada Allah SWT, tapi kesalehan sosial yang kritis pada struktur sosial yang timpang dan menindas. Lafaz ubudiyah dalam amalan malam lailatul qadar, sejatinya simetris dengan lafaz sosial dalam mewujudnyatakan kesadaran iman fungsional. Keimanan yang bermanfaat bagi banyak orang.