Islam memberikan penekanan yang kuat pada masalah makanan yang dikonsumsi manusia. Dalam hadits, kita kenal dengan terminologi halalan taoyyibah; yang halal lagi baik. Dalam Al qur’an surat Al Maidah ayat 88 Allah SWT berfirman yang artinya : “dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thayib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”
Di ujung ayat di atas, Allah SWT memberikan stressing “taqwa” sebagai output dari makanan yang halal lagi baik. Halal dari sisi zatnya, dan juga cara memperoleh. Sumber makanan dari suatu hasil manipulasi, korupsi atau kejahatan sejenis, jika kita sandarkan pada perspektif surat Al Maidah ayat 88 di atas, maka bukan bagian dari kategori halal; apalagi baik alias haram !
Pentingnya makanan yang halal ini, menyebabkan buaya Hamka, tak pernah mengizinkan anaknya makan dari hasil pemberian orang lain yang tak jelas halal-haramnya, terkecuali dari hasil keringat Hamka sendiri. Hamka, adalah tokoh yang sangat menjaga masalah subhat.
Di sisi yang lain, Rasulullah pun pernah mengingatkan, bahwa suatu makanan yang haram bila masuk ke dalam tubuh kita, maka selama 40 hari, amalan ibadah kita ditolak oleh Allah.
Ibnu Abbas berkata bahwa Sa’ad bin Abi Waqash berkata kepada Nabi SAW “Ya Rasulullah, doakanlah aku agar menjadi orang yang dikabulkan doa-doanya oleh Allah.” Apa jawaban Rasulullah SAW, “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah makanan yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan doanya. Dan demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya.” (HR At-Thabrani)
Penegasan rasulullah ini, sejalan dengan perspektif medis moderen, bahwa suatu toksin yang masuk ke dalam tubuh manusia, membutuhkan waktu 40 hari untuk sterilisasi. Perspektif ini menyimpan makna yang jelas, bahwa selama makanan yang haram ada dalam tubuh kita, maka jangan harap, amalan-amalan yang kita lakukan mendapat rida dari Allah sebagai suatu amal ibadah (pahala).
Makanan yang kita makan, tak hanya berfungsi sebagai materi protein, tapi juga membangun dimensi ruhiyah. Oleh sebab itu, setiap makanan yang kita peroleh dan kita makan, bila didapatkan dengan cara-cara “tidak halal,” maka hal ini tak saja berpengaruh secara fisiologis, tapi juga secara psikologis.
Tak sedikit anak dari orang-orang kaya yang terjerat narkoba, seks bebas dan beraneka rupa kejahatan, sesungguhnya dibentuk dari latar belakang keluarga. Tidak cuma masalah kurangnya perhatian orang tua, tapi juga pada bentuk asupan makanan yang diberikan oleh orang tua (soal halal haram makanan yang dimakan anak).
Jika makanan yang diberikan kepada anak-anak kita, adalah hasil dari pekerjaan yang diperoleh dengan tidak halal, maka lagi-lagi, makanan yang dimakan sang anak, akan membentuk aspek fisiologis dan psikologis (jasmaniah dan ruhaniah). Makanan tersebut akan menjadi asupan bagi metabolisme hati, dan memproduksi hormon dan enzim otak untuk befikir. Jadi ada interkoneksi hati, otak dan sumber protein yang halal.
Pertanyaan sederhananya, jika si anak, makan dari makanan yang haram, yang diperoleh orang tua dari hasil korupsi dan kolusi, apakah tak berpengaruh terhadap hati dan sistem berfikir si anak? Mari kita menggali dan mendalami perspektif hadits rasulullah, sebagaimana dalam prolog tulisan di atas tentang makanan yang halal.
Tentu pertanyaan seperti ini kembali pada suatu logika yang dalam, yang tak saja menyingkap aspek materi, tapi juga menembus dimensi immateri dengan kekuatan spiritual. Bahwa selalu ada realitas lain di balik dimensi kebendaan. Materi tidak tunggal, tetapi selalu ada di baliknya dimensi atau hukum realitas lain yang hanya bisa dijangkau dengan akal ruhaniyah (spirituaitas).