[caption id="attachment_326628" align="aligncenter" width="420" caption="Kuliner Artefak Lamaholot (foto ; munir.doc)"][/caption]
Di atas meja sudah berjejer makanan. Ada jagung titi campur kenari, kue rambut, jagung bose dan ikan bakar. Mas Hanafi Rais yang ikut dalam kunjungan itu, menatap sebentar jejeran kuliner di atas meja. Beberapa warga Alor Besar dan Ahmad Yohan (AYO) memperkenalkan ragam jenis kuliner Alor. Sebelum pertemuan, kami mencicipi kuliner yang sudah tersaji itu. Saya melihat mas Hanafi mengamati dan membolak-balik kue rambut di tangannya. Saya pernah ditanya teman SMA asal Madura, “nir, kue rambut ini, bagaimana cara menganyamnya?”. Tapi syukurlah, tak ada pertanyaan serupa dari Mas Hanafi.
Beragam kuliner yang terhidang di atas meja itu, tak beda jauh dengan kuliner khas Flores Timur (Solor, Adonara dan Lembata).Saya teringat telaahan AYO, bahwa kuliner dari sudut pandang tertentu merupakan simbol budaya bahkan lebih tinggi dari itu--peradaban.
Kesamaan panganan Alor, Solor, Adonara dan Lembata menyimbolkan ikatan historis dan budaya masa lalu. Meski belum ada suatu observasi ilmiah yang mengulas lebih dalam, namun simbol-simbol budaya ini sudah disepakati sejak dulu. Kuliner sebagai ligament budaya di empat pulau ini, perlu dijaga, karena tak hanya kuliner an sich, tapi menyingkap emosi persaudaraan masa lalu yang kuat.
Namun sayangnya, kuliner khas yang unik ini belum terangkat lebih jauh sebagai brand image kedaerahan. Sederhananya, kuliner local belum menyegat identitas personal orang Alor, Solor, Adonara dan Lembata.
Mungkin kita (orang Lamaholot), acap kali teralienasi karena seringnya makan gado-gado, nasi lalapan dan nasi padang. Pusat-pusat budaya kita di daerah, belum menempatkan kuliner sebagai objek budaya, apalagi diperkuat nilai pasarnya (market values). Kalau kita turun di Bandara Mali-Alor, yang kita temukan Cuma warung makan yang isinya Indomie rebus. Padahal, akan menarik bila gerai-gerai kuliner di Bandara Alor disajikan aneka kuliner khas Alor.
Akan menjadi unik, bila ada orang luar yang tiba di Alor dan mampir ke gerai kuliner yang bertulis “disini kami sajikan jagung bose dan ikan kuah kunyit khas Alor”. Atau Misalkan “Kami menyediakan sarapan pagi anda, dengan kue rambut(Jawada; bahasa Alor) dan kopi tubruk khas Alor”. Kulinernya sederhana, tapi bila diberi kemasan dan memiliki market value, tentu nilai-nilai budaya ikut ter-cover. Hal sederhana tapi jarang terfikirkan.
Memang pergeseran identitas kedaerahan ini sedang mengalami tsunami. Belum lagi suguhan junk food impor yang masif masuk ke pelosok daerah, kerap menggerus kearifan lokal. Akibatnya cita rasa kedaerahan kita lewat kuliner khas, mengalami springboard of culture dan berpindah identitas diri.
Terkadang kita merasa modern kalau keseringan makan di KFC dan McDonald’s. Padahal kedua jenis makanan impor ini merupakan representasi budaya orang Barat. Namun modernitas yang dipersepsikan secara latah dan gagap sebagai westernism, kerap membuat kita terdistorsi.
AYO yang berkeliling di pulau Solor, Adonara, Lembata hingga Alor, merasa menemukan kembali identitas budayanya. Ia terkagum-kagum melalui beberapa diskusi lepas setelah lelah berkunjung ke konstituen dengan berbagai suguhan kuliner.
Kedepan menurut AYO, dengan adanya kementrian Ekonomi Kreatif, menjadi ruang eksplorasi bagi pemerintah daerah. Ruang ini perlu ditangkap sebagai kesempatan besar mempromosikan kearifan lokal masyarakat NTT, khususnya di daratan Lamaholot. Kita punya kebijakan (poicy) dan juga anggaran (budgeting), namun meng-cretae-nya jauh lebih agar bersinergi dengan program pemerintah pusat, belum terfikirkan.
Saya pun berfikir lebih particular. Memperkenalkan identitas daerah perlu dilakukan dari ragam aspek. Termasuk kuliner--menjadi salah satu aspek budaya yang tinggi nilai keadabannya.Itu yang belum difikirkan. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H