[caption caption="Bayam di pasar tradisional. Sumber: lampung.tribunnews.com"][/caption]Seperti biasa, sejak ada si kecil Amora Belva, kami "berganti peran". Sayalah yang membeli sayur dan aneka lauk dan kebutuhan dapur lainnya di pasar. Berjubel, antri di belakang kerumunan ibu-ibu yang padat merayap. Aneka aroma di pasar menyengat hidung, hingga berdenyut di kuping. Demi peran ayah siaga, pantang surut!
Belum sebulan ketika saya ke pasar, harga bayam tiga ikat masih Rp 2000. Minggu lalu di dua pasar, Palmeriam dan Pasar Genjing Jakarta Timur, tak ada satupun yang menjual bayam karena harganya yang naik berlipat. "Susah pak, bayam mahal," begitu kata si bapak langganan sayur saya. Apakah penimbunan bayam oleh oleh petani bayam atau kartel bayam yang membuat jenis sayur ini mahal? Bayangkan bayam ada kartelnya, hehe.
Seperti harga daging sapi tempo hari yang melonjak mahal, akibat supply-nya yang tersumbat akibat kenakalan beberapa kartel. Lalu pemerintahan Jokowi impor 300 ribu ekor sapi dari luar. Padahal di NTT, NTB dan Padang Mangateh punya sapi berlimpah, yang bisa menyuplai kebutuhan daging sapi dalam negeri. Tapi mau apa? Naluri impor si presiden lebih kuat daripada membeli sapi dalam negeri. Mungkin karena sapi di luar negeri sana makan roti dan keju sementara sapi di NTT, NTB dan Padang Mangateh-Payakumbuh cuma makan rumput gajah. Itulah.
Yang paling sedih buat kami di NTT, era SBY kami diansor sebagai Provinsi Garam, karena konon tiap tahun Indonesia defisit garam ± 2 juta ton. SBY sampai-sampai berkantor di RJ Gubernur NTT beberapa hari demi garam pada tahun 2011. Waktu itu, sebagai tindakan konkretnya, mantan presiden dua periode itu berjanji memberikan Rp 5 triliun dari APBN ke NTT dan sampai hari ini janji itu menguap. Mungkin dua hari menjelang kiamat, janji itu tak pernah terwujud.
Setali tiga uang dengan SBY, Jokowi pun berjanji menjadikan NTT sebagai Provinsi Sapi. Eh pada saat terjadi kelangkaan dan mahalnya harga daging sapi di pasar akibat permainan beberapa kartel, mantan Gubernur DKI sepotong waktu itu malah mengimpor 300 ribu ekor sapi dari luar negeri. Kenapa tak beli sapi dari NTT? Dan lagi-lagi kami di NTT hanya memble menanti janji bodong provinsi sapi dari Jokowi.
Kembali ke harga bayam tadi. Hari ini, saya kembali ke pasar, dan kagetnya, harga 1 ikat bayam Rp 2.500. Harga kangkung potong per ikat 2.500. Begitu pun harga komponen lauk lainnya, cabe keriting, bawang merah, ikan, daging sapi dan ayam rata-rata harganya terkerek.
Tentu tak sedikit ibu-ibu memperketat belanja dapurnya. Bagi suami-suami yang berpenghasilan kecil, harga kebutuhan dapur yang mahal, tentu saban hari gesture muka bininya bergeser 180 derajat. Dari muka yang tadinya senyum bulat bagai angka "0", setelah harga kebutuhan dapur terkerek sementara setoran suami pas-pasan, gesture muka bini berubah menjadi "69". Mungkin karena begitu, Menteri Puan Maharani menyarankan masyaraat Indonesia jangan banyak makan dan diet ketat. Beda dengan rakyat kecil, Menteri Puan masalahnya cuma malam ini kita makan di restaurant mana?
Boro-boro standar gizi meningkat, apalagi minum susu 5 liter/hari bagi anak-anak Indonesia (biar nutrisi otaknya bertambah dan kelak encer otak). Menurut Kemenperin 2015, konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia baru mencapai 12,10 liter perkapita per tahun, masih jauh di bawah konsumsi per kapita negara-negara ASEAN lainnya yang mencapai lebih dari 20 liter per kapita per tahun. Konsumsi susu Malaysia sebesar 36,2 Kg/kapita/tahun, Myanmar 26,7 Kg/kapita/tahun, Thailand 22,2 Kg/kapita/tahun, dan Filipina 17,8 Kg/kapita/tahun. Meski Indonesia punya bonus demografi dengan tingkat usia produktif yang besar, tapi kalau jarang minum susu, jadinya tak produktif dan malas.
Boro-boro minum susu, mau makan bayam saja harganya terkerek berlipat-lipat. Bagaimana mau sehat dan pintar, kalau makan bayam saja susah? Sekarang sehat itu mahal, orang miskin dilarang sakit, karena biaya iuran BPJS ikut dinaikan pemerintah April 2016 nanti. Sejurus itu, sekarang di koran, Jokowi tanpa dosa memanggil dirut BPJS terkait pasal kenaikan iuran BPJS. Lah, mau pencitran apa lagi sih? Bukannya kenaikan iuran BPJS itu melalui Kepres? Aneh deh, Pak!
Bini di dapur yang sensitif dan tentu cerdas, pasti tiap pagi nyeletuk, era Jokowi apa-apa mahal, ongkos kesehatan juga mahal, ngapain aja sih presiden itu? Bisa ga sih mengatur negara ini? Kalau ga bisa mimpin Indonesia "anu aja deh". #SaveJokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H