Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Freeport, Indonesia, dan Konspirasi Kolone Kelima?

5 Desember 2015   04:02 Diperbarui: 5 Desember 2015   17:29 3629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika akhirnya Setya Novanto terbukti bersalah dan melanggar etika kedewanan sesuai UU MD3, Setya Novanto sebaiknya mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI. Lagi pula, dalam rekam jejaknya, orang ini lebih kental sebagai pengusaha tulen daripada sebagai negarawan; atau pemimpin bangsa. Segala coret-moret soal dugaan namanya dalam pusaran korupsi, adalah tinta merah yang acap kali membuat masyarakat berkesimpulan, lembaga DPR RI adalah sarang koruptor dan macam-macam stigma.

DPR sudah terlalu berat menampung stigmatisasi publik, maka sebaiknya, beban stigma itu tidak ditambah dengan geliat binis dan politik Novanto sebagai pimpinan DPR yang sering menyeret-nyeret DPR dalam pusaran stigma publik. Novanto sudah terlalu lama menjadi anggota DPR dari dapil NTT, tapi tak ada rekam buah tangan yang membanggakan selama mewakili masyarakat daratan Timor-NTT di parlemen.

Selain Novanto, ada soal besar yang ikut mengorek rasa ingin tahu kita, bahwa kegaduhan demi kegaduhan soal Freeport ini, apakah ada kaitannya dengan teori konspirasi, yaitu adanya kekuatan kolone kelima, yang ikut mengobok-obok lembaga negara, agar saling gebuk, saling cakar-cakaran melalui sebuah operasi intelejen? Lalu ketika kondisi negara menjadi riuh tak karuan, ada kekuatan lain yang mengambil manfaat dari segala keonaran ini?

Operasi intelejen, selalu bertentangan dengan hukum yang berdaulat di suatu negara. Contohnya, di tahun 2011 Wikileaks membeberkan tentang Amerika yang diam-diam telah menyadap beberapa pejabat tinggi negara Indonesia tanpa seizin otoritas Indonesia. Demikianpun Australia yang beberapa waktu lalu, melakukan hal serupa [Baca : Australia AS Kerja Sama Sadap Indonesia Saat KTT Bali-2007].

Rekaman Presdir PTFI Makruf Samsudin alias MS, tidak lagi sebatas soal Freeport, tapi merembes ke berbagai soal lain. Gaduh genderang politik sudah dimulai. Dari soal legitimasi pemilu 2014, Pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri dan hal lain yang pelan-pelan terurai dalam rekaman MS.

Tentua tujuan penyadapan ini untuk mengetahui informasi-informasi strategis Indonesia. Demikianpun untuk menciptakan gejolak dari dalam negara, menciptakan rasa saling curiga dan saling fitnah antar lembaga negara dan menciptakan blok sistem antar lembaga negara. Operasi intelejen ini bertujuan memecah belah Indonesia dengan data dan informasi yang disadap, Ujungnya serupa isu dewan jenderal 1965 yang berujung pada tragedi maut G30S PKI.

Jelas operasi merekam pejabat Indonesia atau siapapun tanpa punya kewenangan menyadap/merekam, melanggar undang undang ITE. Undang undang yang berdaulat di NKRI. Demikian pun rekaman yang dilakukan Presdir PTFI MS, adalah sebuah tindakan melawan UU. Bertentangan dengan rezim UU ITE yang kita yakini berdaulat mengatur segala urusan informasi dan komunikasi di wilayah NKRI. Apapun alasan MS, kita tak bisa menegakkan satu UU, dengan melanggar UU yang lain.

Dilihat dari karakter operasinya, penyadapan yang dilakukan Australia, Amerika dan Presdir PTFI MS, adalah bercirikan suatu tindakan operasi intelejen. Sebuah operasi untuk mendapatkan informasi secara diam-diam. Ini model infiltrasi asing tapi menggunakan tangan Indonesia atau kekuatan koloni kelima. Mungkin bukan cuma Novanto yang direkam, bisa jadi pajabat negara yang pernah beretmu dengan MS dalam perbincangan soal masa depan Freeport pun direkamnya untuk kepentingan bisnis? Mungkin menteri SDM sendiri tanpa ia sadari pembicaraannya sudah disadap/atau direkam untuk kepentingan Freeport dikemudian hari?

Operasi intelejen ini berujung pada Novanto sebagai ketua DPR berhada-hadapan dengan Sudirman sebagai representasi pemerintah. Kini faktanya, DPR dengan berbagai faksi politik di parlemen dan pemerintah dengan masing-masing faksi kepentingan, sudah berhadap-hadapan. Luhut vs Sudirman, Rizal Ramli Vs Sudirman dan Luhut. Ini perkelahian antar geng. Lembaga-lembaga negara ini kelak saling missing soal Freeport, ketika masalah pepanjangan kontrak Freepot di tanah Papua Barat dibawah ke arbitrase internasional. Ketika Indonesia terbelah dan lemah di arbitrase internasional, Freeport kembali memukul dada tanda menang. Mission success. Bravo !

Kasus pencatutan ini membuncah ke publik bersamaan dengan Indonesia yang keukeuh memintah divestasi saham 30% dari usaha pertambangan PTFI di Papua Barat. Kasus pencatutan nama presiden juga, bersamaan dengan ketika pemerintah dan DPR yang keukeuh menyoal deviden dan royalty PTFI yang belum dibayar ke Indonesia dua tahun belakangan dengan alasan rugi. Demikian juga soal pembangunan smalter yang masih tak jelas. Contoh ketidakjelasan itu misalnya, kenapa smalter harus ada di Gresik? Bukankan secara ekonomi ini inefisien? Ada tujuan apa di balik pembangunan smalter di Gresik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun