Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir Jakarta dan Banjir Popularitas Jokowi

29 Januari 2014   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391007049201236705

[caption id="attachment_292815" align="aligncenter" width="540" caption="Banjir Jakarta dan Banjir Popularitas Jokowi (sumber foto : www.asatunews.com)"][/caption] Inilah tes kesahihan terbesar bagi legitimasi kemampuan Jokowi memimpin Jakarta. Beberapa politisi rival Jokowi, menjadikan ini sebagai amunisi untuk menyerangnya. Kemarin, dengan sedikit mengupas pendekatan agama, politisi lain bilang “kepongahan Jokowi-Ahok” mengumbar janji menanggulangi banjir Jakarta, dibalas Tuhan dengan telak. Jakarta nyaris terendam. Aspal terkelupas dimana-mana, jalan macet. Pasca banjir, Jakarta persis orang terserang influenza akut. Dimana-mana jalan mampet.

Tapi bagi saya, kekuatan alam dan kemampuan Jokowi, bukanlah dua hal yang perlu diadu-adu dan dilihat secara diametral. Meski memang Jokowi dipaksa bisa menaklukan beringasnya masalah Jakarta, termasuk banjir dan macet. Apalagi di era Jokowi-Ahok, mereka seakan dipaksa menadah tumpahan konsekuensi regulasi pembangunan dua periode sebelumnya yang korup.

Banjir Jakarta, tak saja hasil kiriman atau tumpahan banjir Bogor, tapi juga tumpahan kesemrawutan regulasi pembangunan sebelumnya yang dipenuhsesaki perilaku koruptif. Penyebab banjir dalam hemat saya, adalah akibat hilangnya daerah serapan air, mampetnya drainase serta rekayasa pembangunan kota yang tak peka dan mitigatif terhadap ekologi dan bahaya banjir. Ini adalah kelengahan pemerintah sebelumnya, yang menganggap sudut dan ruang kota Jakarta adalah modal (capital) yang mesti dieksploitasi habis-habisan.

Cara pandang alam yang capital an sich ini, mengalir deras dan membanjiri bawah kolong meja birokrasi dan regulasinya. Akibatnya, logika pembangunan dilihat sebatas berapa besar modal dan investasi yang masuk, serta seberapa besar imbal balik yang diberikan ke penguasa atas segala kelonggaran regulasi.

Akibatnya, pembangunan tak lagi melihat aspirasi ekologi. Alam dan pembangunan seakan hilang daya persuasif. Dengan demikian dapat dibilang, seberapa besar pembangunan (fisik) dan investasi yang masuk ke Jakarta, sebesar itu pula konsekuensi ekologis dan kemanusiaan yang dihasilkan.

Disharmoni antara pembangunan dan alam di Jakarta ini, punya dampak turunan pada krisis dan erosi moralitas politik yang naïf. Disaat banyak warga direndam duka, “eh” ada politisi semacam Ruhut yang giat mengumpat Jokowi. Bukan memberi solusi dan ketenangan pada masyarakat, malah banjir politisasi yang ditumpahkan.

Tak elok menurut saya, bila banjir Jakarta ini dibanjiri pula politisasi untuk mendelegitimasi kapasitas Jokowi. Hari ini, Jokowi tengah menghadapi “mahkamah alam” atas dosa-dosa pembangunan yang telah dilakukan penguasa DKI sebelumnya. Ini bukan bermaksud saling menyalahkan, tapi sebatas menekan tensi kemarahan dan politisasi yang semakin tak objektif pada Jokowi.

Banjir Jakarta adalah khotbah keekologian yang maha penting. Bahwa cara pandang terhadap alam harus didudukkan pada nilai-nilai kearifan yang genuine. Alam mestinya dilihat secara persuasif, dilihat sebagai bagian yang hidup, bukan modal (capital) serta objek investasi dan keuntungan yang serta-merta.

Inilah cara pandang alam yang sedang diluruskan Jokowi dengan program 1000 taman kota di DKI dan derivasinya. Inilah elan keekologian yang ditancapkan Jokowi sebagai pernyataan perang terhadap keserakahan pembangunan dan investasi, yang acap kali culas terhadap keseimbangan ekologis Jakarta.

Tapi sayang, separuh kita hanya menjadikan banjir sebagai corong kegaduhan. Persepsi gaduh inilah yang kerap mengotori otak Ruhut dan rekan-rekan sealirannya. Tentu dengan tujuan menggerus popularitas Jokowi yang kian final saja dengan banjir cemoohan. []


Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun