Pilkada akan dikembalikan ke DPRD. Sinyalemen itu sangat kuat. Pernyataan Presiden Prabowo di ulang tahun Partai Golkar itu semacam "cek ombak."
Dalam ulang tahun Golkar 2024, Presiden katakan "sebaiknya Pilkada kembali ke DPRD." Kata Prabowo, kita jangan serta-merta menduplikasi demokrasi Barat.
SDM kita belum siap untuk Pilkada langsung. Kembali ke semangat UUD 1945 dengan "demokrasi perwakilan."
Gestur para elit parpol yang hadir tampak "mengiyakan" pernyataan Prabowo. High cost democracy. Itu yang dirasakan. Menang tekor, kalah apalagi.
Akhirnya APBD menjadi bancakan. Pembangunan terhenti. Resultante negatif pun menimbulkan konflik horizontal pasca Pilkada.
Menurut saya juga begitu. Pilkada langsung telah menimbulkan inflasi demokrasi. Sistem demokrasi menjadi tak efektif karena surplus regulasi dan prosedural dalam penyelenggaraan Pemilu/Pilkada. Biayanya sangat mahal. Baik dari sisi penyelenggara maupun kontestan.
Selain itu, mohon maaf, kualitas pemilih kita masih rendah. Dari data BPS, persentase penduduk yang belum tamat SD, tamat SD, atau tamat SMP di Indonesia masih tinggi, yakni 37,62% dari populasi.
Tentu saja, dengan postur demografi seperti ini, sebagai pemilih, tentu insight untuk memilih pemimpin berkualitas belum menjadi preferensi.
Dengan SDM yang masih rendah, kualitas pemilih pun cenderung rendah. Output demokrasi menjadi buruk. Demokrasi melalui Pilkada langsung, belum mampu menghasilkan talenta yang mumpuni untuk menciptakan kebijakan untuk pembangunan.
Menghadirkan demokrasi partisipatoris menjadi musykil. Sebaliknya, demokrasi yang digerakkan dengan mobilisasi kekuatan kapital menjadi lebih unggul.
Di era Prabowo, output dari disiplin fiskal diarahkan pada investasi SDM. Anggaran birokrasi akan diefisienkan. Estimasinya, bila belanja pegawai diperketat, bisa hemat sampai Rp 15 triliun.
Seturut itu, mungkin institusi penyelenggara Pilkada pun akan dibuat menjadi ad hoc. Bertugas saat Pemilu (Pilpres & Pileg). Jadi begitu abis Pemilu, KPU/Bawaslu pun bubar. Lebih efisien dari sisi anggaran dan pemerintahan.
Sejak tahun 2005 sampai 2024, anggaran Pilkada meningkat 3053,8%. Pada tahun 2024, anggaran Pilkada sekitar Rp 41 triliun. Sekitar 11,7% dari APBN 2024.
Bila menggunakan perspektif Prabowo, daripada Rp 41 triliun habis untuk Pilkada, lebih baik dipakai untuk membangun infrastruktur dasar di daerah. Tiap provinsi bisa dapat Rp 1,08 triliun.
Memang ada yang bilang, kalau Pilkada kembali ke DPRD, serangan fajarnya balik ke DPRD. KKN akan terpusat ke DPRD dan partai. Justru dengan demikian, lebih mudah dikontrol.
Tinggal penegakan hukum diperkuat. Pengawasan ketat pada semua elemen yang terlibat dalam seluruh proses pemilihan kepala daerah. Tapi namanya juga korupsi. Begitu ada kesempatan sekecil lubang jarum, pasti terjadi.
Pasca Reformasi 1998, eksperimen demokrasi kita belum settle. Masih cari bentuk idealnya. Tapi demokrasi perwakilan yang dibahas para founding fathers kala itu di forum BPUPKI dan Konstituante, berisi orang-orang hebat.
Ada Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Sultan Hamid II, Mohammad Roem, Sjahrir, Agus Salim, dan lainnya. Top semua. Bukan tokoh ecek-ecek.
Mereka sadar betul demokrasi perwakilanlah yang cocok buat Indonesia. Kalau sekarang? Ya mungkin seperti yang dikatakan Prabowo. Menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H