Di era Prabowo, output dari disiplin fiskal diarahkan pada investasi SDM. Anggaran birokrasi akan diefisienkan. Estimasinya, bila belanja pegawai diperketat, bisa hemat sampai Rp 15 triliun.
Seturut itu, mungkin institusi penyelenggara Pilkada pun akan dibuat menjadi ad hoc. Bertugas saat Pemilu (Pilpres & Pileg). Jadi begitu abis Pemilu, KPU/Bawaslu pun bubar. Lebih efisien dari sisi anggaran dan pemerintahan.
Sejak tahun 2005 sampai 2024, anggaran Pilkada meningkat 3053,8%. Pada tahun 2024, anggaran Pilkada sekitar Rp 41 triliun. Sekitar 11,7% dari APBN 2024.
Bila menggunakan perspektif Prabowo, daripada Rp 41 triliun habis untuk Pilkada, lebih baik dipakai untuk membangun infrastruktur dasar di daerah. Tiap provinsi bisa dapat Rp 1,08 triliun.
Memang ada yang bilang, kalau Pilkada kembali ke DPRD, serangan fajarnya balik ke DPRD. KKN akan terpusat ke DPRD dan partai. Justru dengan demikian, lebih mudah dikontrol.
Tinggal penegakan hukum diperkuat. Pengawasan ketat pada semua elemen yang terlibat dalam seluruh proses pemilihan kepala daerah. Tapi namanya juga korupsi. Begitu ada kesempatan sekecil lubang jarum, pasti terjadi.
Pasca Reformasi 1998, eksperimen demokrasi kita belum settle. Masih cari bentuk idealnya. Tapi demokrasi perwakilan yang dibahas para founding fathers kala itu di forum BPUPKI dan Konstituante, berisi orang-orang hebat.
Ada Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, Sultan Hamid II, Mohammad Roem, Sjahrir, Agus Salim, dan lainnya. Top semua. Bukan tokoh ecek-ecek.
Mereka sadar betul demokrasi perwakilanlah yang cocok buat Indonesia. Kalau sekarang? Ya mungkin seperti yang dikatakan Prabowo. Menurut Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H