Trump baru saja mengumumkan perang dagang pada China, Canada dan Meksiko melalu tarif dagang. Hasil rilis PDB AS, memicu Tarik ulur pemangkasan suku bunga The Fed. Cuaca ekstrem di Indonesia juga hal lain, menambah kompleksitas masalah.
Trump dengan kebijakan perang tarif dagang, The Fed dengan suku bunga kebijakan dan cuaca ekstrem, memiliki soal yang sama peliknya. Menciptakan tekanan likuiditas bagi ekonomi serta ketidakpastian dan terganggunya rantai pasok kebutuhan pokok.
Dalam kondisi tersebut, kebijakan yang bersifat fiscal contingency perlu dilakukan. Agar risiko yang akan terjadi dikemudian hari dapat diabosorb, agar tak berdampak terlalu buruk pada perekonomian dan rakyat. Mungkin ada baiknya kita memahami hikmah nabi Yusuf yang dikisahkan dalam Al qur'an
Kisah Nabi Yusuf mengenai mimpi tujuh sapi gemuk yang dimakan oleh tujuh sapi kurus, serta tujuh bulir gandum hijau yang dimakan oleh tujuh bulir gandum kering, diabadikan dalam Surah Yusuf (12:46). Berikut adalah ayat terkait:
Surah Yusuf (12:46): "Wahai pemimpin negara, aku melihat tujuh sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh sapi yang kurus, dan tujuh bulir gandum hijau dan tujuh lainnya yang kering. Maka beritahukanlah kepadaku, jika kamu dapat menafsirkan mimpi itu, supaya aku dapat kembali kepada orang-orang dan mereka dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan."
Dalam konteks kebijakan fiskal, dalam menghadapi konjugtur ekonomi, tafsiran mimpi ini menjadi simbol penting dalam pengelolaan ekonomi. Seperti yang dijelaskan dalam ayat ini, Nabi Yusuf mengajarkan pentingnya persiapan dalam menghadapi masa-masa sulit (famine atau paceklik), dengan menabung selama masa surplus untuk menghadapi masa krisis.
Kebijakan fiskal yang fleksibel dan responsif terhadap konjungtur ekonomi sangat penting agar negara bisa mengelola tantangan ekonomi yang datang dalam bentuk resesi atau krisis global. Dengan kebijakan yang tepat, seperti menabung atau menambah cadangan fiskal selama masa ekspansi, negara akan lebih siap menghadapi masa resesi.
Kebijakan fiskal dengan menggunakan analogi dari kisah Nabi Yusuf, menekankan bahwa negara harus memiliki cadangan (fiscal buffer) untuk menghadapi fluktuasi ekonomi yang bisa datang sewaktu-waktu, sebagaimana dalam mimpi tersebut.
Jadi, pelajaran yang dapat diambil adalah pentingnya antisipasi terhadap siklus ekonomi, dengan menciptakan kebijakan fiskal yang bijaksana dan responsif terhadap perubahan kondisi ekonomi, agar negara dapat tetap stabil dan mampu bertahan saat menghadapi masa krisis.
Kiblat ekonomi dunia saat ini dikendalikan dua pandangan. Pasca Soviet, negara-negara cenderung menganut prinsip-prinsip kebijakan fiskal yang lebih ketat dan disiplin, untuk membangun kredibilitas ekonomi mereka.
Negara yang fokus pada kebijakan menabung menganggap bahwa tingkat tabungan yang tinggi penting untuk membiayai investasi domestik tanpa bergantung pada utang luar negeri.
Menurut teori ini, negara yang mampu menabung lebih banyak akan memiliki lebih banyak dana untuk investasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pandangan ini lebih dekat pada teori ekonomi Robert Solow, Paul Romer.
Dua tokoh ini (Robert Solow, Paul Romer), menekankan bahwa, pertumbuhan ekonomi jangka panjang dapat dicapai dengan memaksimalkan akumulasi modal, baik modal fisik maupun modal manusia. Negara yang mengutamakan tabungan berusaha mengumpulkan modal untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor produktif yang akan meningkatkan produktivitas ekonomi.
Pasca Great depression (1930), kebijakan fiskal Amerika Serikat yang sering kali melibatkan defisit dan peningkatan utang berakar pada pendekatan yang lebih fleksibel dalam pengelolaan ekonomi, dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan pengeluaran domestik dan stimulus ekonomi dalam jangka pendek.
Dalam ekonomi yang terlalu Keynisian, defisit fiskal yang tinggi dapat diterima sebagai cara untuk mengatasi penurunan ekonomi, yang bisa mempercepat pemulihan ekonomi melalui investasi publik dan pengeluaran sosial. Defisit fiskal yang didanai oleh utang dianggap tidak terlalu berbahaya selama tingkat utang tersebut tidak melebihi kapasitas ekonomi negara untuk membayar kembali.
Eropa Timur lebih menekankan pada stabilitas keuangan jangka panjang dengan menabung dan menghindari utang, sementara Amerika Serikat lebih fokus pada penggunaan defisit fiskal sebagai alat untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya saing global melalui pembiayaan utang yang dapat dikelola dalam mata uang yang dominan di dunia.
Dari tiga pandangan diatas, ada hikmah yang patut kita petik. Indonesia perlu memiliki cadangan fiskal yang cukup untuk menghadapi krisis. Membangun buffer fiskal bisa dilakukan dengan menabung di masa surplus untuk digunakan dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Akan tetapi, Indonesia juga perlu menjaga keseimbangan anggaran dan mengurangi ketergantungan pada utang, terutama utang luar negeri yang dapat menambah beban fiskal. Tetapi, ini perlu dilakukan dengan memperhatikan prioritas pembangunan dan pengurangan kemiskinan
Dalam menghadapi krisis atau untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, Indonesia bisa mengambil langkah fiskal ekspansif, seperti yang dilakukan Amerika Serikat, dengan hati-hati dalam mengelola defisit dan utang agar tidak berisiko tinggi. Wallahu'alam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H