Sebagai Ormas keagamaan terbesar di Indonesia (kedua setelah NU), masyarakat berbaharp, Muhammadiyah sebagai sebagai the last resort, menolak konsesi tambang yang diobral pemerintah ke ormas-ormas keagamaan. Publik berharap, Muhammadiyah memiliki moral ekologis yang tinggi untuk menolak konsesi tambang.
Tapi harapan publik jauh panggang dari api, Muhammadiyah akhirnya, menerima konsesi tambang---yang menjadi polemik saat ini. Muhammadiyah akhirnya terpapar penyakit Belanda (dutch disease) dan FOMO (fear of missing out), ikut main tambang. Bisnis yang sama sekali jauh dari ruh amal usaha muhammadiyah (AUM)
Padahal publik berharap, Muhammadiyah tetap di jalurnya saat ini, melakukan investasi human capital dalam landscape social entrepreneur; untuk menciptakan sumber daya pembangunan yang mumpuni. Menghasilkan kader-kader intelek dan religious. Bukan sebaliknya, ikut bermain di tambang yang bukan pakem dakwah Muhammadiyah.
Harus diakui, memang selama ini diskursus soal environmental ethics, jauh dari perbincangan elit Muhammadiyah. Oleh karenanya, pertimbangan majelis tarjih muhammadiyah dalam mempertimbangkan menerima konsesi izin tambang, seakan menutup mata pada data-data deforestasi, konflik sumber daya serta konflik sosial ekonomi di sekitar wilayah tambang.
Misalnya, bila kita lihat berbagai riset, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat deforestasi tinggi akibat bisnis tambang. Sejatinya, pertimbangan majelis tarjih Muhammadiyah terhadap konsesi tambang, memiliki sense yang kuat pada data-data deforestasi, kerusakan tata ekologis dan sosial akibat tambang dalam landscape fiqih ekologi.
Dasar dari fiqih ekologi Muhammadiyah adalah pada beberapa aspek. Pertama, Hifdz al-Nafs, melindungi jiwa manusia dari bahaya akibat kerusakan lingkungan, seperti polusi dan bencana alam. Kedua, Hifdz al-Din, melindungi agama dengan menjaga kelestarian alam sebagai tempat manusia beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketiga, Hifdz al-Aql: melindungi akal manusia dari dampak negatif kerusakan lingkungan, seperti penyakit akibat polusi.
Keempat, Hifdz al-Nasl, melindungi keturunan dengan menjaga kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang. Kelima, Hifdz al-Mal, melindungi harta benda dengan cara memanfaatkan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan. Inilah pilar sebagai Maqasid al-Shari'ah yang seharusnya membingkai perspektif ekologi majelis tarjih Muhammadiyah dalam memutuskan; menerima konsesi izin tambang dari pemerintah.
Sebagai civil society, publik justru berharap, Muhammadiyah idealnya berperan kritis terhadap berbagai konflik sosial dan dampak ekologis dalam bisnis tambang. Muhammadiyah idealnya melakukan dakwa advokatif, untuk membela hak masyarakat yang selama ini terzalimi secara struktural akibat kebijakan ekonomi ekstraktif yang acap kali tak adil dan bias fiqih ekologi.