Dalam satu kesempatan mengikuti kuliah fiskal 100 term, di tahun 2020, pengajar yang sering saya dan kawan-kawan panggil Prof Awali, berujar sedikit murung, ekonom yang jarang bicara tentang ketimpangan (inequality), berarti dia "ekonom salon." Dus, keberpihakan itu ada dalam diskursus kesenjangan. Setali tiga uang, politisi yang jarang bicara tentang ketimpangan, "berarti dia politisi salon."
Sekarang para ekonom saban hari meramalkan pergerakan kurs rupiah. Ramalan dibikin saat pasar itu volatile-nya ga karuan-karuan.
Di tengah kondisi yang sangat spekulatif itulah ramalan dibikin. Apa kata Doktor Chatib Basri di KOMPAS edisi 10/10/2022?
"Kala ekonom mulai meramalkan kurs rupiah, berarti selera humornya bagus, karena yang diramalkan pasti meleset semua."
Di tengah situasi begini, jarang ada ekonom, yang berteriak tentang ketimpangan.
***
Ironi, ekonomi sampai mangkrak di zona kontraksi sampai negatif 5% kala kuartal awal 2021, tapi jumlah orang kaya melesat.
Sementara, orang miskin antre dan mati sesak nafas gegara antre sembako. Kalau sekarang kita tumbuh di teritori ekspansi, tapi di bawah angka inflasi, dan itu dipicu inflasi harga bergejolak dan harga yang ditetapkan pemerintah, artinya ekonomi kita "tumbuh dalam ketimpangan.
Ya, tumbuh dalam ketimpangan. Karena inflasi harga bergejolak (volatile inflation), itu hanya dua komponen, yakni harga energi dan harga pangan. Soal harga pangan bergejolak ini paling rentan pada kelompok miskin. Karena 75% GK, disumbang oleh pengeluaran makanan. Jadi kala komponen pengeluaran ditekan inflasi komponen makanan, itu yang paling berisiko orang miskin.
Kalau kita melihat data di Credit Suisse, sepanjang tahun 2020-2021, orang kaya di Indonesia meningkat tajam. Orang kaya dengan income US$ 1 juta meningkat hingga 61% sepanjang pandemi Covid-19. Orang super kaya/crazy rich dengan kekayaan bersih US$ 100 juta juga melesat 22% sepanjang wabah Corona.