Film The Perfect Storm adalah teropong yang yang cocok, untuk melihat kondisi saat ini. Badai yang sempurna, dan sulit diprediksi. Setali tiga uang dengan Black Swan, dalam model ekonomi makro.
Sepanjang 2020-2021, kita dikutuk, sengatan virus mematikan. Lalu disusul horor pengetatan moneter negara maju, dan supply bottleneck akibat krisis Eropa Timur.
Mungkin ini yang disebut Perfect Storm; Badai yang sempurna! Christine Lagarde (IMF), menyebutnya gloomy and more uncertain; suram dan lebih tidak pasti.
Namun di balik dari badai itu, ada berkah yang terselubung. Melalui kontrol rakyat/civil society dan DPR, politik fiskal kita berjalan pada trayeknya. Sebagai fungsi alokasi, distribusi dan terutama stabilisasi.
Di balik badai dan kemarau likuiditas, kita memiliki bekal yang cukup, melalui windfall ekspor. Inilah blessing in disguise, yang menyokong cadangan devisa, transaksi berjalan dan penerimaan pemerintah.
Alhasil, sejak kuartal 3 2021, perlahan tapi pasti, kita keluar dari turbulensi badai resesi. PDB perlahan-lahan, berada di teritori positif. Kendatipun, melalui perdebatan dan kritik yang luar biasa.
Dalam The Perfect Storm, kapalnya hilang di lumat badai. Syukurlah, dalam badai resesi global, kita mampu melewatinya. Tak semalang para nelayan Gloucester, Massachusetts, AS dalam The Perfect Storm.
*
Menkeu meyakini, pada Q3-2022, kinerja ekonomi (PDB) mencapai 5,6%. Namun bila kita flashback perjalanan ekonomi sepanjang Q3, banyak catatan menyertainya. Mulai dari kenaikan harga BBM, inflasi, serta konsumsi pemerintah yang seret.
Ketiga hal dimaksud menjadi faktor pengurang, sehingga PDB sepanjang Q3 terkoreksi oleh beberapa katalis negatif untuk mencapai potensialnya.