Bank sentral Indonesia akhirnya unjuk nyali, menepis desakan pelaku pasar terkait penyesuaian suku bunga kebijakan BI. Walhasil, BI 7-Day Reverse Repo Rate tetap rendah, di posisi 3,5 persen dalam hasil RDG BI, Kamis, 21 Juli 2022. Tak pelak, selama 18 bulan berturut-turut, BI bertahan pada suku bunga rendah, di tengah tren suku bunga tinggi negara-negara peer, dan negara ekonomi utama.
Hal itu membuktikan, bahwasanya BI tak bersikap stand behind the curve, mengimani tren suku bunga tinggi The Fed, namun senantiasa memperhatikan dinamika dan fundamental ekonomi domestik. Khususnya berpatok pada core inflation yang masih dalam sasaran BI, 2,63 persen. Karena inflasi ditetapkan 3 persen dengan deviasi +/- 1 persen. Dengan kebijakan moneter yang dovish, BI ingin menegaskan, bahwa kebijakannya berada pada jalur exit way, dalam rangka menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Dengan inflasi inti yang masih dalam sasaran otoritas moneter, maka keseimbangan supply and demand barang dan jasa, dinilai relatif terkendali. Tak pelak, BI keukeuh bertahan pada suku bunga rendah, adalah "jihad moneter" dalam menjaga momentum pemulihan, dari efek luka memar (scarring effect) pandemi Covid-19.
Sebelum RDG BI, Kamis (21/7), saya menulis, BI masih dengan kebijakan suku bunga rendah. Alasan utamanya core inflation yang meningkat 2,63 persen namun tetap dalam kendali BI, dan dibaca sebagai ekonomi tengah dalam fase pemulihan meninggalkan scaring effect pandemic. Oleh sebab itu, inflasi dilihat sebagai bekerjanya ekonomi dari demand side.
Kecermatan BI sehingga tidak terburu-buru mengerek BI7DRR juga dengan pertimbangan APBN yang masih siaga sebagai peredam kejut (shock absorber). Sehingga BI tidak menjadi stand behind the curve. Mengikuti jarum kompas The Fed fund rate.
Ada risiko yang harus dibayar, yakni arus modal keluar. Namun siklus bisnis akan mengarah pada time to downsizing. Tren suku bunga The Fed akan landai. The Fed tak akan terus menerus menaikan FFR, bila tak ingin ekonomi AS ambrol. Dengan demikian, suku bunga akan akan menemukan momentum penurunan.
Kecermatan BI itu berada pada trade-off, antara efektivitas mengerek suku bunga kebijakan terhadap pengendalian inflasi dan arus spekulasi. Koordinasi kebijakan fiskal dan moneter, masih menjadi ramuan (mixed policy), agar kebijakan BI7DRR tak mematikan momentum pemulihan ekonomi dari scaring effect pandemic.
Atas dasar itulah, saya meyakini, kebijakan suku bunga BI (BI7DRR), akan lebih mengakomodasi momentum pemulihan ekonomi. Suku bunga yang rendah, meniscayakan likuiditas akan terserap ke dunia usaha, sehingga memacu kinerja output. Dengan demikian, kinerja PDB pada Triwulan-2 2022, diharapkan menyentuh batas atas target pemerintah 5,3 persen.
Lebih dari itu, nyali BI membendung desakan pasar agar suku bunga dikerek 25 bps -- 50 bps, patut disaluti, kendatipun sejumlah risiko menanti. Tentu saja kita berharap, BI memegang erat semboyan Pegadaian "Mengatasi masalah tanpa masalah."
Tantangan