Apa yang disebut lack of utility dalam gemuruh pembangunan infrastruktur, terbukti, pada pembangunan infrastruktur era pemerintahan Jokowi. Anggaran infrastruktur tambun, namun ICOR meningkat, dari 6 point di tahun 2016 menjadi 8,16 point di tahun 2021 (Sumber data : Bappenas).
ICOR 8,16 berarti, untuk menghasilkan 1 unit output ekonomi (PDB) seharga Rp.8,16 membutuhkan modal/investasi tambahan sebesar Rp.8,16. Artinya, ekonomi tidak efisien. Mahal !
Pandemi menjadi faktor koreksi kinerja output dan mahalnya investasi. Berimplikasi pada ICOR yang tinggi. Namun sebelum pandemi pun ICOR Indonesia paling tinggi, bila dibandingkan dengan negara-negara peer yang rata-rata ICOR-nya di bawah 5. Idealnya, Infrastruktur yang dibangun, adalah sarana untuk memacu laju output ekonomi.
Namun bila output PDB menjadi mahal, pertanda pembangunan infrastruktur belum mengefisienkan ekonomi. ICOR (Incremental Output Ratio), adalah rasio belanja investasi modal terhadap pertumbuhan output. Semakin tinggi ICOR, semakin tidak efisien ekonomi suatu negara.
Menurut data Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), sejak 2016 hingga tahun 2021, pemerintahan Jokowi telah merampungkan 124 proyek nasional dengan nilai pendanaan Rp.626 triliun. Nilai pendanaan ini setara dengan 3,7% dari PDB 2021. Namun, dengan banyaknya proyek nasional dengan nilai pendanaan yang besar, belum mampu memacu laju pertumbuhan ekonomi yang mangkrak di 5%.
Dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi di era Jokowi sebesar 3%-4%, sejak 2015-2021. Harus diakui, bahwa ICOR Indonesia sejauh ini, berbasis industri komoditas mentah dengan nilai tambah rendah.
Dengan demikian, fluktuasi harga komoditas, terefleksi pada rendahnya output dan pertumbuhan ekonomi. Ekonomi berbasis komoditas, umumnya mempunyai ICOR relatif tinggi, karena mempunyai nilai tambah (value added) dan multiplier efek rendah (Budiawan : 2018). Dengan demikian, memerlukan investasi besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Perubahan karakteristik ekonomi, dari industri berbasis komoditas ke industri jasa berteknologi tinggi (high tech) atau digitalisasi, pun menjadi salah satu faktor terkoreksinya output. Kontribusi ekonomi digital misalnya, kontribusinya terhadap PDB baru 4%.
Di sisi lain, juga menggambarkan, bahwa terjadi mismatch dalam pembangunan sektor infrastruktur yang linkage dengan trend disrupsi ekonomi ke arah digitalisasi. Investasi pemerintah ke digitalisasi belum optimal.
Hipotesis lack of utility pembangunan infrastruktur pada prolog tulisan ini, patut diuji, dengan asumsi dasar, bahwa terjadi mismatch antara pembangunan infrastruktur dan nilai tambah ekonomi melalui hilirisasi (downstreaming industry) dan sektor jasa high tech dari sekedar berbasis industri komoditas.
Tentang IKN
Sejak awal, rencana pembangunan IKN (Ibu kota Negara) baru, menuai perdebatan berbagai kalangan. Menurut hasil riset Ekonom UI Fithra Faisal, IKN hanya berkontribusi 0,05%-0,1% terhadap perekonomian nasional.
Dari hasil riset UI tersebut, saya ingin remind, bahwa dengan nilai pendanaan IKN sebesar Rp.446 triliun, ternyata perkiraan kontribusi terhadap ekonomi nasional, sangat kecil.
Selain itu, pendanaan IKN hingga saat ini, masih belum jelas; selain alokasi APBN. Mulai dari trust funding, crowdfunding, dana filantropi hingga kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU). Baik melalui user payment atau availability payment.
Alokasi APBN untuk IKN adalah 20% atau sekitar Rp.89 triliun dari total pendanaan IKN. Terkait jatah APBN untuk IKN ini sudah diteken Jokowi ! Pada RAPBN 2023, pemerintah mengalokasikan Rp.30 triliun untuk IKN.
Namun mundurnya salah satu investor IKN--Softbank, memunculkan pertanyaan, ada apa? Apakah proyek ini tidak feasible secara hitung-hitungan bisnis bisnis?
Kegamangan pemerintah dalam mencari formula IRR (Internal Rate of Return) proyek IKN, bisa jadi adalah titik soalnya. Dus proyek IKN dengan 80% adalah investasi swasta ini, isinya adalah bangunan publik seperti perkantoran dll.
Dengan demikian, hitungan secara bisnis, memiliki revenue stream yang kecil untuk sebuah investasi. Belum lagi, faktor non bisnis seperti pergantian rezim kekuasaan, pun akan mengancam kelanjutan IKN. Apakah ini pula yang membuat kenapa Softbank Mundur dari IKN?
Secara teori, bila IRR > dari cost of capital, maka proyek tersebut feasible untuk dijalankan/diinvestasikan. Sebaliknya, bila IRR < dari cost of capital, maka proyek tersebut tidak feasible untuk dilakukan/diinvestasikan.
Kita punya preseden terkait skema KPBU. Skema pembangunan melalui KPBU atau PPP sudah dilakukan pemerintah sejak 15 tahun lalu, namun yang terdelivery hanya sekitar Rp 20 triliun. Angka tersebut untuk proyek dengan internal rate of return (IRR) di atas 15% (Sumber : CNBC)
Belum lagi perhitungan kelayakan implementasi bisnis (feasibility study/FS) berbagai proyek pemerintah yang acap kali meleset dari kenyataannya. Saya ambil contoh, Proyek LRT Palembang, Bandara Kertajati. Demikian pun beberapa ruas tol yang pemanfaatannya meleset dari FS. Ini menjadi gambaran, bahwa tingkat pengembalian investasi dari proyek-proyek pemerintah banyak yang bermasalah !
Dengan formula IRR dan FS IKN yang ditengarai belum matang, maka skema proyek IKN ini diprediksi berbagai kalangan, akan memperlebar tanggungan APBN. Diperkirakan, dari 20% menjadi 50%.
Tentu saja hal tersebut akan membebani APBN di tengah fase normalisasi. Ruang fiskal menjadi tidak fleksibel sebagai shockbreaker menghadapi ketidakpastian global (global uncertainty) akibat inflasi global dan krisis geopolitik.
Dengan ruang fiskal yang terbatas menghadapi ketidakpastian global, beban pendanaan IKN pada APBN justru membuat APBN menjadi getas. IKN yang notabene sebagai proyek strategis nasional (PSN), justru menjadi tidak strategis, karena memperkecil ruang APBN untuk program-program prioritas pemulihan ekonomi dan gejolak ekonomi global saat ini !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H