Setelah KLB menyunggit AHY di Sumut, kini Partai Demokrat hasil KLB, konpres di lokasi Hambalang. Apa soal? Kenapa Hambalang? Yang jelas itu pesan sekaligus peluru senjata tumbuk.
Di tengah-tengah ilalang, dan sulur-sulur yang tumbuh memeluk beton-beton bangunan Hambalang dengan genitnya, kepala Max Sopacua yang ditimpali topi Cowboy menyembul. Bicara berbusa-busa.
Pilihan tempat press conference, memberi pesan ke Cikeas, Moeldoko cs akan menggebuk Cikeas dengan kasus Hambalang. Akankah Cikeas akan lintang pukang?
Kalau SBY benar-benar digebuk dengan kasus Hambalang, maka barang tentu akan menangkisnya. Entah dengan apa SBY menangkis, yang jelas, Moeldoko cs akan meminta kasus Hambalang diusut kembali. Nama-nama yang dulu kebal, bisa jadi terseret kembali ke ranah hukum.
Jauh sebelum peristiwa KLB ini menyembul, di tahun 2015, saya pernah mengutarakan, menulis, apa pasal, KPK terbata-bata memanggil Ibas kala itu. Dus, di persidangan, selaku saksi kunci, Yulianis menyebut-nyebut nama bontot SBY itu. Bukan cuma Yulianis yang menyebut.
Apa urusannya, hingga Yulianis benar-benar ngotot menyebut nama Ibas? Pada 25 Juli 2017, dalam persidangan kasus wisma atlet, Yulianis bertanya, "apa pasal, Ibas tak dipanggil KPK?" Lantas jawab hakim, "ditolak bu, karena menurut komisioner, itu adalah teman"(Tribunnews, 25/7/2017). Okelah kalau demikian urusannya. Semoga kali ini, Ibas bukan "teman komisioner KPK lagi."
Perkara Ibas terlibat atau tidak, biarkan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Kala itu, logika jamak orang terpapar, mustahil, hukum bisa menyentuh kekuasaan.
Apalagi putera presiden sendiri. Logika jamak itu, sulit dipatahkan KPK. Diamnya KPK kala itu, seakan mengamini logika jamak publik tersebut.
Kalaupun itu terjadi, Ibas diperiksa KPK kala itu, lantas apa jadinya? Bisa guncang satu Indonesia. Alangkah hebohnya manakala itu terjadi.
Kalau cuma menteri atau pejabat kroco-kroco, tak jadi soal. Mungkin tak begitu guncang Indonesia. Namun mau bagaimana, kala itu "Ibas teman komisioner KPK."
Kala itu, KPK sama sekali tak memanggil Ibas. Akibatnya, logika jamak publik, teramini dengan sendirinya. Bahwa; ajaib, bila KPK bisa memanggil Ibas.