"Sekarang ini, KPK lagi melipir, mengintai ikan-ikan besar. Kira-kira sekali ditangkap kolam seempang jadi keruh"
Pasca-digergaji sebagai lembaga super body pemberantas rasuah melalui revisi UU KPK, lembaga ini ditunggu-tunggu publik. Apa masih gentlemen? Apa masih bisa OTT? Apa masih bisa menjegal bajing? Jegal maling?
Tentulah semua lembaga, apapun itu, punya ego sektoralnya. Mesti pukul dada, unjuk kebolehan.
Pun KPK. Dia masti nyosor ke depan, unjuk gigi, bahwa dialah satu-satunya yang punya pamor dalam memberantas korupsi.
Per Januari 2020, KPK yang baru sudah mulai bekerja. Pula dengan UU yang baru. Sudah mesti pasang kuda-kuda. Melerok sana-sini, siapa kira-kira yang mesti diuber. Tentu yang ditangkap mesti genderuwo. Ga bisa tuyul, atau teman sejawatnya, semisal kurcaci.
Emoh rasanya kalau yang ditanggap maling kelas teri. Kalaupun bila ada yang kelas teri, mesti dilihat, angle politiknya macam mana? Kira-kira sekali nangkap teri, bisa bikin keruh air seempang.
Pikir punya pikir, datanglah ikan kakap. Persis di depan mulut KPK yang lagi mangap, siap menyambar. Lalu terjadilah OTT. Tetapi yang ditangkap cuma remora. Ikan seuprit, yang cuma mengekor di balik sirip paus segede gaban.
Si paus terbirit-birit masuk ke sarang. Cuma ekornya masih mengipas-ngipas. Sementara kepalanya diutup sarang. Yang di luar lalu mengira-ngira, apa itu paus, hiu atau lele raksasa yang licinnya minta ampun.
Intinya ikan besar baru saja lepas. Mestinya, kalau tertangkap, pamor KPK sudah terhela. Melambung di mata publik. Orang menyorak sembari bertepuk tangan. Hore!. Meski sudah diamputasi kewenangannya, KPK tetap punya muka. Masih unjuk jago.
Pada intinya, teman di sebelah saya bilang, "Bulan-bulan ini akan banyak kejutan. Ikan-ikan besar sedang digiring ke mulut KPK. Sekali dekat, langsung ditelannya." Ini demi menjaga muruwah KPK, agar tetap dipercaya publik.
Bisa jadi kasus-kasus lama akan diuber. Tambah hebat lagi, misalnya, kasus BLBI. Dengan rekap obligasi yang bunga kuponnya tiap tahun membenani APBN puluhan triliun.