Politik yang selalu panas, sering menguras hormon otak dan mengikis batin. Di politik, otak dan batin, acap kurang diberi rongga untuk rileks sejenak. Misalkan sesekali di politik, kita sering tertawa, atau mendaptkan relaksasi-relaksasi untuk menggali emosi keindahan dan cita rasa estetika yang kadang “ngumpet” karena politik yang kadung sering panas dan mendidih.
Memang sesekali kita perlu berfikir, bahwa politik butuh bantal yang nyaman. Ketika penat kita kembali dan bersandar. Sosok Mukidi di balik cerita-cerita pendeknya yang kocak, adalah umpama tempat para politisi kembali dan bersandar, sekedar merelaksasi otot wajah agar tidak terlampau kering akibat tindihan politik yang menekan.
Keputusan-keputusan politik yang sering dilakukan dengan raut muka yang kering-kerontang, sering tak menguntungkan secara politik. Maka alangkah pentingnya, sebuah keputusan politik diambil, saat si politikus sedang tertawa, atau minimal tersenyum lebar dan nyengir.
Maka tak heran, kenapa tahun lalu, presiden Jokowi mengundang serombongan pelawak ke istana negara, sekedar makan siang dan tertawa ngakak bersama para artis komedian itu.
Dua bulan terakhir, otak kita dipenuhsesaki cerita Cianida, digital forensic hingga tetek-bengek soal Jesika dan Mirna yang saban hari mengisi layar TV.
Entahlah kenapa, kopi maut itu begitu kuat menyedot ruang publik. Sekan-akan nyawa lain tak begitu penting dari Mirna; pun Jesica yang begitu menggemaskan; nampak cuek-bebek tanpa beban dosa akibat tuduhan kematian Mirna yang disangkakan padanya.
Lantas, tiba-tiba cerita Mukidi muncul menjadi viral di medsos dan mengocok-ngocok perut kita. Cerita Mukidi seperti sedang menarik emosi publik ke dalam keadaan, dimana kita perlu tertawa seharian dan sesaat meninggalkan ingar-bingar politik dan carut-marut wajah pemerintahan Jokowi yang sering riuh dan di-bully.
Tokoh-tokoh seperti Gusdur dengan joke politiknya, selalu membikin politik menjadi begitu renyahnya. Gusdur misalnya, bisa membuat kita menalari suatu alur politik sambil tertawa terpingkal-pingkal tanpa menendang kualitas konten omongannya.
Politisi sekaligus negarwan seperti Gusdur, membikin politik seperti bantal, tempat kita bersandar dan nyaman, tapi tanpa sadar menerima suatu transmisi pesan yang disampaikannya dengan gaya berpolitik yang rileks dan penuh canda tawa. Gusdur dan semua simbol dan isyarat politik, selalu mengocok perut kita. Gusdur selalu membikin kontradiksi-kontradiksi yang kocak, tapi membelah mainstream. Selalu di luar dari kebiasaan; tapi menghibur panggung politik.
Jelang kejatuhannya pun begitu. Ketika memori kita terbangun dengan wajah istanah negara era orde baru yang angker, tapi ketika lengser, Gusdur hanya menggunakan celana pendek dan baju kaos di depan bejibun wartawan. Penampilan itu lantas megeliminasi perasaan yang tadinya tegang dan marah menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Penampilan Gusdur itu, sesungguhnya sedang menghela dan meredam emosi publik agar tidak menimbulkan gejolak yang merugikan bangsa. Ia tetap negarawan seperti sediakalanya.
Nah kembali ke Politik Mukidi. Memang sudah saatnya, demokrasi ini dibangun dengan nalar dan langgam yang renyah. Setidaknya, cerita-cerita Mukidi itu, turut memberikan hawa bagi iklim politik yang tidak melulu penat dan sumpek. Setidak-tidaknya beberapa politisi yang biasa tegang urat mukanya, ramai-ramai membicarakan Mukidi sambil ngakak, bahkan membagi tawa melalui status di twitter dan facebooknya.