Saya tertegun membaca sebuah posting online tentang gubernur DKI Jakarta Ahok yang dulu di gadang-gadang bersih dan sekarang ternyata? Posting itu bukan pernyataan, tapi pertanyaan yang terus-menerus menggerus derajat kepercayaan saya pada Ahok.
Sebagai pemilik KTP seumur hidup di Jakarta Timur, tentu kelak saya pun memilih pada 2017, tapi kepada siapa pilihan saya, itulah menjadi soal dan gejolak kebatinan saat ini. Pilkada Jakarta adalah episentrum demokrasi Indonesia, karenanya memilih gubernur DKI, itu seakan-akan tengah mengonstruksi Indonesia masa depan yang bersih dan "engga korup."
Diposting yang saya baca, itu mempertanyakan soal dugaan keterlibatan Ahok dalam skandal korupsi Sumber Waras, apalagi, kasus itu terus dikipas-kipas dengan temuan bukti baru oleh kelompok masyarakat yang masih kritis dan logis. Bukti baru itu adalah : Sertifikat yang dibeli Ahok atas nama Yayasan kesehatan Sumber Waras, NJOP 7 jt. Yang tidak dibeli adalah yang 20 juta itu atas nama yayasan lain (Baca Sindo News : Mantan Staf Khusus Presiden SBY Unggah Bukti Dugaan Korupsi RS Sumber Waras), berikut penyangkalan Ahok di meja pengadilan sebagai saksi (Baca Teropong Senayan Geger, Ahok Ketahuan Beri Kesaksian Bohong di Pengadilan Tipikor).
Tapi di beberapa tempat, ketika ditembak pertanyaan, Ahok sesumbar yakin ia tak korup. Setali tiga uang dengan kasus beberapa kepala daerah di beberapa tempat, awalnya berkilah, akhirnya terbukti nyolong. Kasus dan cara berkilah seperti inilah, yang terus terjadi, dan membangun kesimpulan publik, bahwa orang yang diduga korupsi dan berkilah, hampir 80 persennya terbukti korup dan duduk di kursi pesakitan. Mungkinkah Ahok ada dalam bagian kisah-kisah naïf, berkilahnya sebahagian koruptor itu?
Sebagai warga Jakarta ber-KTP seumur hidup, saat ini, saya merasakan, belakangan Ahok dibanjiri pertanyaan, bahwa apakah ia bersih, bila dihadap-hadapkan dengan Sumber Waras? Dan dugaan-dugaan serupa ketika ia menjadi bupati di Belitung Timur. Tentu, bagi saya, semakin banyak Ahok disasari pertanyaan-pertanyaan itu, maka semakin besar pula tingkat kepercayaan saya pada Ahok makin luntur. Dari dulu, dalam falsafah hidup, saya mempunyai suatu cara pandang bahwa; “keraguan adalah keyakinan kecil, dan semakin sering keraguan itu datang, maka akan menimbulkan sebuah keyakinan besar.”
Demikian juga, saya yang acapkali merasa tak nyaman, ada dalam suatu keseragaman yang dipaksakan, apalagi keseragaman itu dikonstruksi oleh media mainstream yang tengah mengalami disorientasi ideologi jurnalisme dan terhadap pasar yang makin kompetitif. Semisal, mayoritas orang yang saat ini dikonstruksi, agar seragam percaya bahwa Ahok adalah sosok yang bersih melalui pencitraan media.
Bagi saya, kesucian itu sesuatu yang harus diuji, atau harus ada tes kesahihannya. Dan pertanyaan demi pertanyaan publik yang masih kritis pada Ahok itu, harus diuji lewat institusi penegak hukum. Temuan BPK dalam pertanggungjawaban keuangan pemprov DKI serta pengaduan kasus sumber waras yang terkaram di KPK, semakin menguatkan keyakinan saya, bahwa dua soal itu, sedang menguap dalam gagapnya supremasi hukum, yang acapkali legowo pada supremasi politik busuk. Menjadi soal adalah, Ahok ada diantara kesumiran demi kesumiran supremasi hukum. Tentu untuk membeli sesuatu, kita tak mau yang rombeng, apalagi diproduksi secara haram oleh industri opini dan sederet kesesatan politik lainnya.
Bertunpuk-tumpuknya pertanyaan-pertanyaan yang menyoal citra Ahok yang bersih belakangan itu, kini tengah mengurungkan niat saya yang dulunya sempat percaya Ahok adalah sosok yang bersih, tapi ternyata? Hanya Tuhan dan Ahok yang tahu. Sekian. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H