[caption id="attachment_357192" align="aligncenter" width="549" caption="Ahok, Mulutnya dan Tai (gambar : ms doc)"][/caption]
Saya tertegun membaca komentar salah facebooker terkait gaya komunikasi Ahok yang isinya begini ;“kalau ukurannya hanya sekedar tidak KORUPSI banyak kok gigolo yang gak korupsi.”Komentar itu, merespon pertanyaan awak Metro TV kepada narasumber terkait gaya komunikasi Ahok yang kasar dan tak beradab, tapi melawan koruptor.
Lah…saya mau tanya pembaca, sejak Ahok ribut-ribut di lingkungan birokrasi pemprov DKI, sudah berapa koruptor yang digiringnya ke KPK dan penjara? Nyatanya Ahok cuma beropini di media. Kalau Ahok tak sekedar ember bocor, hayoo… penjarakan SKPD yang berkolusi dengan DPRD DKI dalam dugaan APBD siluman. Saya 100 % hakkul yakin, Ahok tak bisa membuktikan apapun terkait dugaan korupsi yang dimaksudnya, karena Ahok patut diduga sebagai bagian jamak dari struktur pemerintah yang korup dan klepto ini.
Ataupun tudingan Ahok terhadap DPRD DKI terkait dana siluman APBD 2015, sudah berapa anggota DPRD yang jadi tersangka TPK? Kisruh Ahok vs DPRD DKI terkait APBD DKI, adalah pertengkaran biasa sesama koruptor soal lapak dan jatah.
Kembali ke Ahok; dua bulan terahir (februari-maret 2015), planet sosial media (sosmed) ramai-ramai memberhalakan Ahok. Meski Gubernur DKI itu diruang publik mengeluarkan kata-kata jorok dan kurang mendidik publik. Media mainstream pun serta-merta latah menobatkan Ahok sebagai pahlawan anti korupsi. Meski di depan layar kaca, Ahok mengkorup etika dan budaya ketimuran di Indonesia.
Ahok jelas-jelas membajak mindset publik, bahwa mengumpat, memaki, serta anak cucu kata-kata tak beradab, sekan menjadi begitu permisif. Maki-makian Ahok di depan ruang publik, dianggap suatu corak langgam yang permisif. Tetangga saya pekeja serabautan di Matraman-Jakarta Timur, sempat bertanya,“Apakah mulut Ahok ga pernah sekolah hingga sejorok itu?”
Ahok serta prototype corak langgamnya yang bobrok, sekan membolak-balik nilai, dimana “yang tontonan menjadi tuntunan, dan yang seharusnya tuntunan menjadi tontonan.” Anehnya, media mainstream tertentu, begitu bangga mempertontonkan segala keculasan Ahok itu ke hadapan publik. Dus akan terjadi suatu toleransi komunal, bahwa umpatan dan cacian adalah suatu gaya langgam yang permisif bagi pemimpin sekelas Gubernur. Bayangkan, betapa rusaknya selera makan saya, mendengar kata-kata Ahok yang jorok dan tak mendidik itu.
Membayangkan anak TK, atau SD menyaksikan umpatan kata-kata tai, bajingan dan bangsat dari mulut Ahok sebagai gubernur secara live di TV,sungguh suatu kejahatan komunikasi yang sulit ditoleril. Ahok, disaat yang sama, telah merusak struktur etika dan norma serta kesantunan yang selama ini dipegang adat ketimuran di Indonesia.
Mari kita lihat dengan jujur, bahwa yang disampaikan Ahok ke publik adalah sebuah kasus perkara pidana korupsi. Maka tuduhan-tuduhan yang disampaikan ke publik, mestinya beralaskan fakta-fakta hukum yang kuat.
Jangan sampai Ahok hanya membajak opini publik, dengan suatu dugaan korupsi yang belum jelas fakta serta putusan hukumnya, kemudian itu dijadikan dasar membual di ruang publik yang terlanjur mengkultuskannya. Wilayah hukum adalah wilayah kepastian, maka Ahok jangan menanam pamor dengan suatu perkara hukum yang belum jelas ujung dan pangkalnya.
Tentang Ahok, mulutnya dan kata-kata tai (maaf) ini, saya teringat adagium paling kuno tentang pendidikan yang sudah kita kenal sejak sekolah dasar (SD); Ing Ngarso Sung Tulodo, yang artinya ; menjadi suri tauladan. Tentu, filosofi kepemimpinan ini menempatkan Ahok di nomor terendah dari sisi etika dan budaya ketimuran. Ada juga pepata mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Melihat Ahok yang minus etika dan kesantunan, maka masyarakat, bisa jauh lebih badung dari Ahok. Toh masyarakat merasa, umpatan dan caci maki sudah sedemikian permisif dilakukan pemimpinnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H