Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mazhab Dangdut dan Non Dangdut

3 Mei 2014   18:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_305858" align="alignleft" width="674" caption="Mazhab Dangdut dan Non Dangdut (sumber : youtube)"][/caption]

Musik dangdut Indosiar malam ini cukup menyengat. Di tv sebelah (RCTI) juga ada Indonesian Idol. Saya bolak-balik kedua canel tv itu.

Entah kenapa, passion bermusik saya begitu menyala malam mini. Padahal emosi romantika saya bergerak standar saja. Batin saya tak galau-galau amat.

Hampir satu jam lebih di depan tv. Rupanya lagu dangdut begitu harmoni dengan cita rasa kebatinan saya. Bukan kenapa-kenapa; ini cuma soal emosi saja.

Tapi bagi saya; lebih dalam, bermusik atau menikmati musik juga harus punya orientasi nilai. Kalau genre-genre musik di Indonesian Idol, cantel-nya di segment--kelas tertentu saja.

Lagu-lagu yang dinyanyikan kebanyakan lagu ber-genre Barat. Meski pronunciation Inggris beberapa penyanyi Idol berantakan. Jadi jangkauaan lagu-lagu ber-genre Barat itu cantelnya di kalangan masyarakat urban kelas menengah ke atas. Atau kalangan terpelajar yang melek dengan genre musikBarat. Kasarnya yang bisa bahasa Inggris. Atau yang “maksain” diri bisa omong Inggris.

Saya hakkul yakin orang-orang pesisir di Kampung saya, lebih memilih nonton Akademi Dangdut dari pada Indonesian Idol. Jadi soal musik ini tak cuma soal hiburan, tapi juga kelasdan patron budaya.

Petugas PLN di kampung saya pernah dikeroyoki masyarakat, hanya gara-gara listrik padam saat konser final Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang disiarkan TPI. Peristiwa ini terjadi di desa Baranusa, Kabupaten Alor-NTTtuju tahun silam.

Ibu saya di kampung lebih mengenal Elvi Sukaesi, Iis Dahlia atau Imam S Arifin. Kalau di tanya siapa Ahmad Dani, Titi Dwi Jayati, atau Tantri-Kotak, pasti balik Tanya, makhluk apa itu?

Jawaban seperti ini karena daya lekat dangdut itu lebih kuat.Ini soal bisa atau tidaknya suatu genre musik diterima di suatu lokus sosial.Dangdut itu masih melayu-sentris. Kultur Melayu yang meng-Indonesia, secara sosiologis membuat musik dangdut lebih dirasa pas dan cocok. Hanya soal pas atau cocok.

Saya bahkan sering mewanti-wanti, bahwa suatu unsur nilai akan terlihat mengakar dan orisinil, bila ia mampu bermetamorfosa dan menyerap produk nilai yang lahir dari rahim sosiologis masyarakat tersebut. Penerimaan musik dangdut di kalangan orang-orang desa atau masyarakat kelas menengah ke bawah, karena dangdut meng-akrabi kultur Melayu-sentris, yang dianggap representasi Indonesia.

Jadi dangdut mainstream juga kerap dianggap mewakili patriotisme ke_Indonesiaan. Beda dengan musik pop atau rock yang kerap membawa teritori suasana kebatinan kita lebih keBarat-Baratan. Saya ingin argumen pembaca “lebih dalam” soal ini.

Meski ada pengecualian bagi saudara-saudara saya di Ambon, NTT dan Papua; yang (terlihat) genre musik pop lebih memasyarakat. Faktor sosio-religius ikut meng-konstruksi warna selera musik suatu komunitas sosial.

Tanpa saya jelaskan, tentu pengetahuan sosial kita sudah bisa menjangkau soal ini. Tapi saya ingin memberikan benang merah, bahwa warna musik itu bukan soal agama dan keyakinan. Tapi soal produk sosial--kultural. Karena lagi-lagi, agama dalam kategori tertentu merupakan produk budaya. Agama juga kerap meng-okupasi unsur-unsur sosial kultural menjadi dimensi inti nilai. Intinya, musik dan agama itu sama-sama “universal”.

Di NTT misalnya, orang-orang di pesisir yang mayoritas muslim, kecenderungan musiknya lebih ke dangdut. Itu terlihat jelas di acara pesta atau hajatan akbar apapun. Lagu dangdutlah yang sering diputar. Dulu (sekitar) tahun 1980-an, musik-musik yang sering saya dengar di kampung adalah, lagu-lagu gambus Arab dan Melayuatau Qosidah.

Sebelum ada joget dangdut di acara-acara perkawinan, tarian dani-dana (Melayu) menjadi kebiasaan yang dilakukan pasca pesta nikah di kampung. Tesis saya, kultur Melayu-Islam, berpengaruh kuat; dan ikut mengkonstruksi selerah musik masyarakat pesisir-Muslim. Saya tak ingin mengeneralisir, tapi observasi saya, faktanya demikian.

Pendapat saya ini tidak serta-merta menjadi kunci, kenapa dangdut lebih merakyat, tapi unsur-unsur yang saya jelaskan, merupakan satu dari sekian faktor, terkait segmentasi musik dangdut dan pop, atau genre musik di luar dangdut.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun