Mohon tunggu...
Munir Sara
Munir Sara Mohon Tunggu... Administrasi - Yakin Usaha Sampai

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian” --Pramoedya Ananta Toer-- (muniersara@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surga Politik Bermerek "Kyai"

25 Mei 2014   20:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:07 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_308441" align="aligncenter" width="485" caption="Surga Politik Bermerek "][/caption]

Ramainya klaim-klaim politik para kyai ditahun politik 2014, menjadi momok yang menjijikkan. Betapa tokoh agama itu, menjadi personifikasi bola politik yang liar. Ditendang sana ditendang sini. Dkocek sana-sini.

Andaikan kyai atau pemuka agama ini steril saja, atau sedikit menahan diri, mungkin politisasi agama tak sekeruh sekarang. Fragmentasi politik para kyai itu, membuat ummatnya terbelah dalam spirit politik yang parokial. Padahal, dalam kontestasi politik, mestinya mereka "para kyai", cukup memberikan ruh dan energi bagi jalannya dinamika politik yang bersih dan beradab.

Kegagalan ulama dalam memberikan identitas moral pada ummatnya saat ini, disebabkan oleh serakah keduniaan dan semakin politisnya para ulama itu. Atas kegagalan itu, mereka (para ulama) mencari kompensasi di ranah politik. Entah itu untuk ego spiritual atau kepuasan dunia.

Akhirnya, politik kita banyak dipenuh_sesaki ulama-ulama yang kehilangan identitas moral. Mereka sibuk membelah ummat dalam faksi-faksi politik, daripada memberi cermah moral kepada pemimpin negara dan sistemnya yang korup. Mereka sebaiknya mengorganisasi masa melawan sistem yang korup, daripada menggalang masa untuk mendukung figur politik tertentu.

Para ulama itu tutup mulut ketika maraknya pencabulan terhadap anak-anak, serta konten-konten media yang penuh narasi provokatif dan tontonan mesum.  Mereka diam, buta dan tuli. Merekalah ulama-ulama badung itu.

Saya berpendapat, pembusukan demokrasi ini lebih disebabkan oleh para ulama-ulama itu. Mereka tak sekedar memberikan klaim masa, tapi juga memberikan fatwa dan merek surga pada figur politik. Agama yang universal, menjadi kerkotak-kotak dalam klaim institusi politik.

Tiap hari ayat-ayat suci dan petuah nabi menjadi kamuflase identitas figur politik. Ayat-ayat Tuhan itu dijustifikasi, dibajak secara santun dengan pelbagai alasan yang diterima.

Akhirnya, suatu waktu, relasi agama dan negara tak lagi saling mengontrol, tapi agama dan ulamanya berpatron pada kekuasaan. Menjadi bagian subordinat negara yang korup dan zolim.

Ayat-ayat Tuhan dipatok dengan sejumlah permisifikasi terhadap perilaku penguasa yang zalim pada rakyatnya. Agama dan Tuhan, dipaksa_tunduk pada sekte politik dan kekuasaan. Inilah abad yang mempertontonkan tabiat ulama rombeng yang kumal dan murah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun