Berbagai peristiwa dalam satu minggu ini yang terjadi di pulau Jawa bisa menjadi cermin untuk berefleksi tentang keindonesiaan kita. Ketika kelompok massa mengatasnamakan agama mencoba mengusik kegiatan warga negara lain dan negara seolah diam tidak mengambil tindakan tegas untuk bersikap tidak hanya netral dan adil, melainkan mampu mengejawantahkan amanat konstitusi dengan tegas. Ketidaktegasan negara c.q pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang memilih jalan kekerasan seolah berhasil mendelegitimasi kewibawaan negara.
Kasus gereja Yasmin atau jemaah Ahmadiyah adalah sebagian contoh pembiaran ketidakmampuan negara untuk mengawal konstitusi dan mencerahkan warga negara dari semangat sektarian. Pemerintah harus kembali membuka pembukaan UUD 1945 dan membuka kembali lembaran sejarah menjelang proklamasi pada saat membicarakan dasar negara Pancasila. Dasar negara yang kemudian disebut Pancasila merupakan consensus bernegara, kesepakatan tokoh-tokoh pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia adalah rumah bagi semua. Indonesia tidak diperuntukkan sebagai rumah bagi mereka yang beragama islam, atau penduduk beretnis jawa saja. Indonesia adalah untuk semua!
Indonesia untuk semua tidak dihasilkan dengan cara yang mulus, didalamnya terdapat perdebatan keras antara golongan nasionalis dan agama. Khususnya tarik ulur 7 kata yang tertuang dalam Piagam Jakarta membutuhkan kebesaran jiwa. Meski akhirnya disepakati seperti tertulis saat ini mengenai sila pertama, namun tidak berarti ada pengorbanan. Karena yang terjadi adalah kebesaran hati tokoh pendiri bangsa yang melihat kepentingan lebih luas bagi Indonesia daripada kepentingan yang tersekat agama. Terdapat kesadaran bahwa Indonesia tidak akan berdiri berdasarkan agama tertentu, melainkan adanya pengakuan terhadap Tuhan dari bangsa Indonesia dan kepentingan kebangsaan Indonesia yang letakkan sebagai cita-cita kemerdekaan.
Indonesia adalah rumah bagi semua, sehingga apabila saat ini penghuni rumah terusik oleh penghuni rumah yang lain maka negara harus mengambil peran besar untuk kembali ke cita-cita proklamasi kemerdekaan. Apabila cita-cita proklamasi merupakan sesuatu yang final maka tidak seharusnya negara c.q pemerintah melakukan pembiaran terhadap usaha-usaha untuk menjadikan penghuni rumah Indonesia merasa ditolak dan seolah diusir dari rumah Indonesia. Pihak-pihak atau kelompok yang menghendaki Indonesia hanya dihuni oleh penghuni tinggal, harus bisa melihat sejarah bangsa Indonesia.
Sejarah menunjukkan tokoh agama Islam berbesar hati untuk 'memangkas' 7 kata dari Piagam Jakarta agar Indonesia bisa mengakomodasi seluruh bangsa Indonesia yang tidak berbeda keyakinan. Dalam pembukaan Indonesia semakin ditegaskan bahwa 'Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.........', kemerdekaan Indonesia bertujuan untuk melindungi SEGENAP BANGSA INDONESIA dan SELURUH TUMPAH DARAH INDONESIA. Pengkapitalan 'segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia' untuk menekankan bahwa Indonesia adalah untuk seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia.
Pemerintah yang memegang amanat rakyat harus memahami tujuan kemerdekaan, bukan malah ketakutan untuk mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 yang memuat cita-cita proklamasi. Pancasila dan (pembukaan) UUD 1945 masih berlaku di Indonesia. Apakah yang akan terjadi apabila negara c.q pemerintah sudah melupakan dasar negara dan cita-cita proklamasi? Pembiaran terhadap kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan demi mengamalkan keyakinannya dan seolah merestui dengan tidak melakukan tindakan apapun atau tidak tegas ketika kelompok-kelompok tersebut menyerang pihak lain.
Negara c.q pemerintah harus tanpa kompromi ketika terdapat kelompok yang menyerang pihak lain atas nama keyakinan. Ketidaktegasan akan melahirkan perilaku berlanjut, dan perilaku berlanjut seolah memberikan restu untuk mengulang perbuatan bahkan melakukan tindakan yang lebih besar daripada yang sudah dilakukan. Fatalnya adalah ketika dasar negara dan cita-cita proklamasi sudah diingkari oleh negara yang berdiri diatasnya, apakah masih pantas kita menyebut negara ini sebagai Indonesia? Dan apakah salah apabila kemudian dibenak bangsa ini muncul pertanyaan apakah Indonesia tetap akan melindungi kita yang minoritas dan termarjinalkan ketika Indonesia diam tak melakukan tindakan apapun untuk melindungi kelompok minoritas dan termarjinalkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H