Permintaan Pemerintah dan Pertamina kepada MUI agar memfatwa-haramkan premium bersubsidi yang dinikmati oleh masyarakat kaya sudah menuai protes. Pembicaraan hangat terkait dengan rencana pengharamkan premium bersubsidi menuai banyak protes dengan garis besarnya adalah hilangnya akal sehat pemerintah dalam pengambilan kebijakan pengelolaan negara.
Penilaian kehilangan akal bertolak dari pemikiran bahwa pertama, dalam meyakinkan masyarakat mengenai kebijakan premium bersubsidi dengan program pemerintah yang mampu mengambil hati public. Program pemerintah dimaksud baik dalam bentuk kampanye dalam kerangka sosialisasi kebijakan yang selama ini sudah sering dilakukan. Semisal konversi minyak tanah ke gas, pemerintah gencar melakukan kampanye dan sosialisasi untuk meyakinkan masyarakat atas persepsi public berkaitan dengan penggunaan gas.
Kedua, permintaan pemerintah dan pertamina dapat dilihat sebagai upaya dalam istilah jawa ‘nabok nyilih tangan’ atau memukul dengan meminjam tangan orang lain. Tujuannya adalah pihak yang akan menjadi kambing hitam bukan pemerintah atau pertamina melainkan MUI. Dan tujuan itu separo berhasil, dimana saat ini meski masih dalam rencana tetapi hujatan sudah diarahkan ke MUI (bukan pihak yang meminta fatwa).
Ketiga, selain sedang meminjam tangan orang lain, permintaan untuk memfatwa haram premium bersubsidi adalah bagian dari rencana test to the water. Pemerintah dan pertamina sedang menguji air (baca: reaksi public) terhadap rencana pemberlakuan premium bersubsidi. Dalam kaitannya dengan masalah pencitraan, test to the water tidak dilakukan sendiri melainkan dengan menggunakan pihak lain. Seperti pada saat Ruhut Sitompul melontarkan wacana amandemen konstitusi terkait dengan masa jabatan presiden. Reaksi public menjadi acuan bagi strategi politik yang harus diambil pasca terpilihnya SBY untuk periode kedua.
Hilang akal pemerintah karena masalah premium (BBM) sangat sensitive. Baik dari aspek individual masyarakat maupun dalam konteks perekonomian nasional, artinya bahwa secara individu akan mempengaruhi biaya konsumsi keluarga dan menimbulkan multiplier effects di bidang perdagangan dan perindustrian. Biaya konsumsi dan multiplier effect akan berkelindan mempengaruhi tingkat kesejahteraan rakyat. Dititik inilah pemerintahan SBY berpikir keras untuk terus menjaga citra dimata public, dengan berusaha mempertahankan kepercayaan public terhadap dirinya.
Dengan membangun legitimasi ‘pinjaman’ dalam menetapkan kebijakan premium bersubsidi, pemerintahan SBY akan tetap aman citranya dan kebijakannya dapat aman melenggang untuk diterapkan. Legitimasi ‘pinjaman’ dari kebijakan yang diambil adalah pengaman dari protes atau penolakan public atas kebijakan yang diskriminatif. Penolakan kebijakan dapat diredam atas nama benar salah yang didasarkan pada akidah agama. Ketika premium bersubsidi diharamkan untuk dikonsumsi oleh golongan masyarakat tertentu, maka penolakan akan berhadapan dengan ‘otoritas’ agama.
Hilang akalnya citra menunjuk pada ketakkreatifnya pemerintahan SBY untuk membangun basis legitimasi yang diperoleh dari pilpres 2009. Basis legitimasi yang seharusmya dipertahankan dengan kinerja, tak mampu ditunjukkan di periode kedua keterpilihan SBY. BBM adalah titik rentan kekuasaan pemerintahan Indonesia siapapun presidennya. Pengelolaan (subsidi) BBM menjadi bagian pengelolaan basis dukungan public terhadap pemerintah yang berkuasa. Pilihan kebijakan menaikkan harga BBM berhadapan dengan aksi protes dan melemahnya dukungan terhadap pemerintah. Dan krusialnya masalah ini sangat dipahami oleh pemerintahan SBY, sehingga siasat keras untuk menjembatani antara citra dan langgengnya kekuasaan dapat dilakukan dengan meminta fatwa kepada MUI.
Jembatan antara citra dan langgengnya kekuasaan (minimal sampai dengan pada akhir masa periode yaitu 2014) dengan fatwa tersebut menunjukkan frustasinya pemerintah berhadapan dengan beban subsidi yang harus ditanggung APBN. Beban subsidi BBM menggeroti kemampuan pemerintah untuk mengelola APBN dalam melaksanakan program-program pembangunan. Apabila benar bahwa pentingnya pengurangan subsidi dengan menggunakan fatwa adalah untuk mengoptimalkan program pembangunan maka terdapat sebuah ironi. Ironinya adalah penyerapan anggaran dalam proyek pembangunan masih belum optimal. Sehingga menimbulkan pertanyaan untuk apakah APBN ketika subsidi premium hendak dikurangi dan penyerapan anggaran masih belum optimal?
Citra SBY terus hendak dijaga atau dipertahankan dengan berbagai cara. Dan premium sebagai sebuah kerentanan kekuasaan hendak dikelola dengan ‘cantik’ agar tidak mendorong lahirnya gelombang protes yang mampu menggoyahkan tampuk kekuasaan. Ibarat sebuah titian, masalah premium hendak dilalui tanpa potensi jatuhnya presiden ditengah periode masa jabatan presiden. Masalah premium bisa menjadi titik picu untuk membentuk gelombang protes yang berasal dari ketidakpuasan public terhadap kebijakan premium yang diambil SBY. Cara paling aman adalah mempertahankan subsidi BBM, tetapi adakah faktor lain selain fluktuasi harga minyak internasional yang mendorong SBY untuk mengurangi subsidi BBM?
Bangkit Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H