Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Premanisme Tumbuh Tidak Hanya Absennya Negara, tetapi Aparat Negara yang Korup

27 Februari 2012   01:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:59 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Premanisme adalah bagian dari budaya kekerasan yang terbentuk dari dua faktor. Pertama, sebagai sarana penyelesaian masalah yang timbul dalam dunia perniagaan. Kedua, sebagai mata pencarian untuk mempertahankan kehidupan. Ekonomi atau uang menjadi sisi lain dari bekerjanya roda ekonomi di suatu wilayah. Premanisme tidak hanya dimaknai sebagai kejahatan jalanan semata, melainkan sebagai kejahatan kerah putih meski akhirnya mewujud dalam bentuk kekerasan primitive.

Mulai dari lahan parkir sampai dengan pengamanan lokasi pembangunan pabrik atau tambang dapat menjadi lahan bagi premanisme. Premanisme jalanan maupun premanisme berdasi selalu mengandalkan kekuatan fisik untuk memperoleh keuntungan. Jarak antara tekanan untuk memperoleh keuntungan dengan kekerasan fisik yang dihasilkan hanya masalah waktu dan bagian strategi dari jenis premanisme. Semakin dekat jenis premanisme ke jalanan maka kekerasan menjadi pilihan utama untuk merebut keuntungan. Semakin berdasi premanisme dilakukan kekerasan adalah alternative kesekian dari berbagai opsi yang tersedia untuk meraih keuntungan.

Premanisme menjadi masalah atau diangkat menjadi isu keamanan ketika aksi kekerasan yang dilakukan mengalami peningkatan dan ruang lingkupnya membesar. Dalam situasi demikian, negara melalui aparat keamanannya merasa perlu hadir dengan menggunakan fungsi represif-polisional yang menjadi kewenangannya. Premanisme belum perlu ditindak (bahkan dilindungi, baca: dibekingi) ketika berada diruang-ruang gelap dan menggurita secara underground. Kemudian menjadi perhatian ketika kekerasan dilakukan secara terbuka dan kasat mata didepan public.

Aparat gerah dengan aksi kekerasan terbuka, padahal sebelumnya pembiaran dilakukan dengan menutup mata terhadap aksi yang dilakukan diruang gelap dan clandestine. Pembiaran atau tutup mata terhadap aksi premanisme karena aparat negara juga menikmati keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan dari aksi ‘injak kaki’ dengan dalih uang keamanan mengalir ke kantong-kantong aparat secara berjenjang. Jumlah setoran yang berbentuk seperti segitiga terbalik menggambarkan semakin tinggi jenjang aparat yang harus memperoleh setoran, semakin besar setoran dan aneka fasilitas yang diberikan.

Penikmatan atas hasil aksi premanisme dapat kasat mata terlihat. Tempat-tempat hiburan dengan berbagai bentuk dan lokasi keberadaannya menjadi lahan subur premanisme. Praktek beking tempat hiburan menunjukkan premanisme diruang gelap dan clandestine ‘direstui’ oleh aparat negara. Dalam hal ini semakin dekat premanisme ke jalanan, aksi premanisme akan mudah terlihat dan tertangkap panca indera public. Namun ketika premanisme menjauh dari jalanan dan berkerah putih maka premanisme muncul dalam bentuk aksi lobi dan negoisasi. Bungkusnya berbeda tetapi isi dari premanisme tetap sama yaitu manajemen kekerasan.

Manajemen kekerasan dengan raihan profit dalam bentuk setoran sebagai imbal jasa dari pengamanan yang diberikan adalah benang merah dari premanisme. Ancaman ketidakamanan dan ketidaknyamanan berusaha adalah alat produksi untuk menghasilkan profit. Dunia usaha berkompromi dengan ancaman dan aksi premanisme adalah bagian dari faktor produksi untuk menghasilkan profit. Dan terbentuklah sinergi tri-kuasa yaitu modal, kekerasan dan kuasa. Sinergi inilah yang melanggengkan premanisme, meski berganti pemilik atau penguasa akan terus hadir sebagai sisi gelap atau tak benderang dari masyarakat.

Masyakarat yang menolak (atau muak) tidak dapat menceraikan kaitan antara aparat negara yang menikmati setoran dari para preman dengan (aksi) premanisme. Aparat negara yang menerima setoran sedang melakukan korupsi karena menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk memperoleh keuntungan (tidak resmi). Korupsi yang mewujud dalam setoran yang bersifat berjenjang dari jalanan ke ruang-ruang mewah kantor lembaga negara menjadi ‘darah’ yang menghidupkan premanisme dan memompa detak jantung kekerasan. Selama korupsi masih beraksi, maka premanisme tetap berjaya dan beradaptasi dengan kondisi demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun