Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengemis sebagai Patologi Sosial (Jangan Memberi Uang kepada Pengemis)

9 Juni 2011   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pengemis adalah fenomena social. Keberadaan pengemis seolah mengiringi pembangunan yang dilaksanakan. Pembangunan menjadi daya tarik pengemis. Kehadirannya menghiasi lokasi-lokasi 'strategis' untuk melaksanakan kegiatannya. Kegiatan utama pengemis adalah meminta, mengeksploitasi belas kasihan sesama untuk mendapatkan kucuran rejeki.

Gemerlap kota melahirkan ketertarikan warga bangsa untuk memilih berprofesi sebagai pengemis. Ketertarikan tidak hanya didasarkan pada kondisi obyektif individu yang secara subyektif mengalami kekurangan materi. Kekurangan materi menjadi alasan utama untuk menjadi pengemis. Namun sepertinya alasan utama tersebut sudah mengalami transformasi menjadi komodifikasi.

Komodifikasi kemiskinan mengarah pada 'industrialisasi', dan arah inilah yang menjadi penyebab patologi pengemis sekarang. Industrialisasi pengemis dimaksud bahwa pengemis ada yang mandiri, tetapi ada pengemis yang memang diorganisir oleh oknum tertentu. Pengemis yang terorganisir inilah yang menjadi bagian industri kemiskinan. Miskin dan eksploitasi belas kasihan adalah 'produk' dari industry ini. Entah miskin obyektif maupun mentalitas miskin atau merasa miskin, pengemis itu ada dan mengalami 'pengembangbiakan'.

Industrialisasi menjadi daya tarik dan mengakibatkan patologi pengemis di beberapa kota di Indonesia. Daya tarik dan patologis seolah bersimbiosi mutualisme bagi individu yang ingin menjadi pengemis. Kemudian ditingkahi dengan model industrialisasi pengemis yang menggejala, dimana iming-iming perolehan pendapatan/penghasilan membulatkan tekad untuk menjadi pengemis. Kebulatan tekad menjadi pengemis terjadi karena pengemis secara social adalah berada pada strata social rendah.

Strata social yang rendah secara obyektif tidak diinginkan oleh setiap manusia Indonesia. Tetapi daya tarik penghasilan yang relative besar, dengan 'kerja' yang tidak berkeringat mendorong manusia membulatkan tekad untuk memilih berprofesi sebagai pengemis. Penghasilan yang relative besar banyak ditemukan, seperti terungkap pada acara Uya Kuya di stasiun televisi swasta ketika menghinoptis seorang pengemis yang mengaku penghasilan sampai pada Rp. 800.000/hari pada saat menjelang hari raya.

Tingkat penghasilan tersebut tidak terjadi setiap hari, tetapi cerita lain dari pengemis di alun-alun kota Salatiga mengungkapkan penghasilan per hari rata-rata Rp. 20.000. Pengemis dengan penghasilan tersebut masih anak-anak, sedangkan cerita lain pengemis seorang ibu menyatakan penghasilan mereka Rp. 80.000/hari. Cerita mengenai penghasilan pengemis bermaksud menunjukkan bahwa dari perspektif penghasilan, pengemis bukan profesi yang dapat dipandang sebelah mata.

Ketika pengemis mengalami proses industrialisasi, profesi pengemis tidak kalah mentereng dengan profesi lainnya. Hanya stigma social atau strata social yang melekat untuk berpikir ulang memilih menjadi pengemis. Bagi kategori orang tertentu, khususnya yang memiliki mentalitas miskin yaitu tak ingin bekerja 'keras' atau keluar keringat dan berwatak malas , pengemis menjadi profesi dengan daya tarik luar biasa. Daya tarik inilah, pengemis menjadi patologi social. Kegiatan mengemis dengan segala daya tariknya menular secara social, dan mendorong orang lain untuk mengikuti jejak pengemis yang sudah eksis.

Penularan profesi pengemis membahayakan, meski tidak akan terjadi secara masif, mentalitas yang terbentuk karena ketertarikan menjadi pengemis dapat mempengaruhi pembangunan karakter. Penularan dapat terjadi tanpa kita sadari, yaitu memberikan kontribusi 'pengembang-biakan' pengemis. Kontribusi kita adalah dengan memberikan pengemis recehan uang karena didorong alasan belas kasihan kita. Namun itu dikembalikan ke hati nurani masing-masing, apakah pemberian kita tepat sasaran atau tidak.

Ketepat-sasaran ini begitu penting karena tanpa menggebyah-uyah bahwa pengemis adalah profesi karena sebuah kesadaran yang didorong motivasi kemalasan. Karena ada pengemis yang benar menjalaninya didorong ketidakmampuan secara ekonomi dengan segala keterbatasan yang ada. Ketidaktepat-sasaran akan mendorong lahirnya 'bayi-bayi' pengemis, dan lebih berbahaya adalah pengembang biakan mental malas dan ketidakmauan bekerja. Ketika terjadi pengembang-biakan maka pengemis menjadi patologi social dan itu harus menjadi perhatian dan keprihatinan bersama dalam rangka pembangunan karakter bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun