Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Militer di Tengah Suksesi Organisasi Sipil (PSSI)

24 Februari 2011   04:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:19 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini mungkin agak nyleneh, berada di luar jalur mainstream yang saat ini sedang melanda bergemuruh di pemikiran masyarakat Indonesia. Jalur mainstream tersebut adalah revolusi PSSI, dan penulis sudah mengemukakan gagasan tentang hal tersebut dengan menggunakan istilah ‘Men-Tunisiakan ‘PSSI jauh sebelum terjadi euphoria jargon revolusi itu muncul (alamat situs). Ditengahnya maraknya pemikiran di jalur mainstream, muncul pemikiran nyeleneh yang merupakan sisi lain dari suksesi di tubuh PSSI.

Ide dari tulisan muncul ketika berdialog sersan (serius tp santai) di pinggir jalan baru sebuah kota yang ditingkahi dengan pemandangan dekat sawah yang mulai menguning, dan pemandangan jauh berupa jalur pegunungan hijau yang tampak gagah. Informasi yang menggelitik terkait dengan mobilisasi instansi territorial untuk menggalang dukungan salah satu calon Ketum PSSI yang tidak diloloskan oleh Tim Verifikasi.

Mobilisasi instansi territorial tersebut merupakan fenomena menarik, meski tidak hendak mengeneralisir secara nasional. Tetapi tidak menutup kemungkinan itu terjadi. Dukungan dari garis komando yang berada dibawahnya mungkin merupakan watak alamiah dari organisasi militer. Karena mungkin George Toisutta yang (kebetulan) sedang menjabat sebagai KASAD tidak menggunakan (potensi) jalur komando yang ada. Tetapi watak alamiah mendorong munculnya mobilisasi untuk menyatakan dukungan terhadap ‘pimpinan tertinggi’ dari instansi militer. Selain watak alamiah, solidaritas juga mampu mendorong munculnya dukungan yang bersifat mobilisasi.

Fenomena dari kota kecil menarik untuk dikaji dalam cakupan yang lebih luas tanpa maksud untuk mengeneralisir (gebyah uyah). TNI atau militer secara tidak langsung terseret pusaran polemik (kalau tidak mau dikatakan sebagai konflik) di sebuah organisasi keolahragaan non militer. Ditarik keluar garis dari dikotomi militer vs sipil, maka memang George Toisutta ibarat legan golek momongan, artinya seharusnya beliau hanya fokus sebagai KASAD dan belum saatnya untuk masuk di wilayah (organisasi) sipil. Mengapa kemudian beliau tampil dalam suksesi Ketum PSSI? Selain jawaban standar seperti demi kepentingan sepakbola Indonesia atau mengemban amanah dari pecinta sepakbola Indonesia, belum ada kedalaman motivasi yang terungkap dari pencalonan beliau selain nasionalisme terhadap sepakbola Indonesia.

Mengapa harus figur dari militer yang ditampilkan, tidakkah cukup hanya Arifin Panigoro yang tampil untuk berkompetisi dengan petahana Nurdin Halid? Apakah dimunculkannya figure dari militer merupakan bentuk inferioritas sipil terhadap militer yang mengalami kekurangan pasokan figur yang mempunyai kapasitas kepemimpinan? Kedua pertanyaan itu yang mengemuka ditengah arus mainstream kekinian berkaitan dengan keinginan merevolusi PSSI.

Keniscayaan terjadinya mobilisasi terkait dengan watak alamiah institusi militer perlu dicermati, karena ini bagian dari indikator ‘kesehatan’ masyarakat sipil dalam menyikapi suksesi kepemimpinan. Dalam hal ini bukan hendak menabukan partisipasi figur militer dalam organisasi sipil, karena ada banyak contoh yang bisa dikemukakan. Tetapi dalam konteks sepakbola dan PSSI, berkelindan dengan kompleksitas masalah yang terjadi ditampilkannya figur militer dapat berujung pada kecurigaan. Yaitu minimnya kemampuan sipil untuk mengkader calon pemimpin yang mempunyai kapasitas untuk menandingi figur yang sudah berkuasa dan bercokol kuat dalam sebuah organisasi.

Untuk mendongkel penguasa yang sudah lama berkuasa dibutuhkan figur kuat dan mempunyai watak kepemimpinan yang tak ‘bercacat’. Figur tersebut harus mampu tampil menjadi alternative, dan kemudian menarik simpati untuk menghasilkan dukungan pemangku kepentingan. Dan salah satu organisasi yang dilihat mampu memberikan ‘pasokan’ figure itu adalah dari kalangan militer. Situasi ini perlu menjadi refleksi bagi kalangan sipil, apabila hendak mempertahankan kesinambungan kepemimpinan sipil dalam negara demokrasi.

Dua kali pemilihan umum cukup untuk memberikan contoh bahwa figure mililter lebih mempunyai daya tarik di preferensi politik konstituen. Apakah organisasi sipil seperti PSSI akan memperpanjang deretan contoh preseden terkonversinya figure militer dalam kepemimpinan sipil? Konversi tersebut tidak masalah, selain masalah bagi masyarakat sipil yang perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk menghasilkan pemimpin untuk mencetak figure pimpinan sekaliber produk akademi militer.

Kembali pada keterlibatan figure militer dalam suksesi Ketum PSSI, saat ini sedang berproses upaya banding yang dilakukan pihak yang (di)gagal(kan) lolos verifikasi. Dengan asumsi bahwa banding akan diterima, maka perlu berandai-andai dalam konteks perspektif kemudian yang akan terjadi pada saat kongres dilaksanakan. Pengandaian dalam perspektif kemudian bertolak dari masih adanya akal sehat dari individu yang memeriksa banding George Toisutta dan Arifin Panigoro. Keberadaan akal sehat dalam mengolahragakan intelektualitas terkait dengan statuta FIFA yang menjadi acuan.

Pertama, syarat sudah terlibat dalam kepengurusan sepakbola seharusnya tidak dibatasi hanya pada aspek formal seperti terlibat dalam organisasi sepakbola di tingkat tertentu. Tetapi cakupannya diperluas dengan tetap mengacu pada keterlibatan di klub sepakbola yang berada dibawah PSSI tingkat daerah (kota/kabupaten). Karena PSSI ditingkat manapun adalah penanggung jawab (klub) sepakbola, dalam hal ini pemahaman untuk menafsirkan statuta FIFA tidak boleh dipelintir untuk menggagalkan (bakal) calon Ketum PSSI.

Kedua, bahwa statute FIFA yang mengatur tentang syarat tidak boleh pernah tersangkut perkara kriminal perlu dibaca bersama dengan mengacu pada obyektifitas bunyi pasal yang ada. Apabila ada yang berdalih bahwa PSSI sudah mempunyai Anggaran Dasar (AD) sendiri, maka perlu dikemukakan bahwa AD tersebut tidak boleh bertentangan dengan statuta FIFA. Dalam hal ini tim verifikasi sudah terjebak pada kepentingan yang mendiskriminasi calon lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun