Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Masih Mandulnya Hukum & Lelapnya Masyarakat

13 Januari 2014   18:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana menegakkan hukum agar berkeadilan? Ditengah maraknya korupsi di Indonesia, kontrol atau pengawasan menjadi penting. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat public bukan tanpa kesadaran bahwa public tidak akan mengamati. Atau menjadi bagian dari ketidaksadaran dari pejabat korup bahwa suatu saat public akan mampu mengindera korupsi yang dilakukan. Kepala daerah, anggota legislative daerah maupun pusat, menteri atau PNS yang terlibat korupsi melalaikan kemampuan masyarakat mengendus penyalahgunaan wewenang.

Terungkapnya korupsi banyak bermula dari laporan masyarakat yang disampaikan ke penegak hukum. Masyarakat sipil berperan, namun sejauh mana peran masyarakat sipil ini menyebar menjadi kesadaran kolektif untuk mengambil bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Selain keberanian dan komitmen, tembok prosedur yang tertuang dalam sebaran peraturan menjadi penghalang membangun kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengawasan anggaran Negara.

Namun bagaimana mekanisme mengontrol hukum apabila masyarakat belum paham dan bahkan tidak mau untuk berbicara (melaporkan) setiap bentuk penyimpangan. Salah satu penyebabnya adalah system perlindungan bagi pelapor (whistle blower) atau perlindungan saksi belum maksimal melindungi mereka. Keterbukaan informasi public belum banyak dipahami oleh masyarakat dan lembaga penegak hukum berlindung atas dalih penyidikan.

Dobrakan dapat dimulai dari kesadaran kolektif yang tanpa lelah mendorong pengawasan penegakan hukum dan mengungkap praktek gelap transaksi hukum. Indonesia bebas korupsi masih jauh, sejauh terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan public. Masyarakat mengandalkan KPK dalam menjerat koruptor, tanpa menyadari keterbatasan KPK untuk menjangku korupsi dalam penyelenggaraan negara di republic ini.

Masyarakat terlelap dalam gemerincing rupiah yang menjadi moda korupsi, terjebak pada komoditas hukum. Keterlelapan ini dimanfaatkan secara masih oleh bandit-bandit hukum, termasuk politisi yang memainkan multi peran dalam penegakan hukum. Hukum bekerja dari kebusukan ke kebusukan tanpa ada peluang menjadi baik, kecuali terdapat kesadaran hati nurani yang tercerahkan dari aparat penegak hukum.

Penegakan hukum menjadi berpihak kepada keadilan dan kebenaran ketika masyarakat melakukan pengawalan, dalam bentuk tekanan melalui media dan aksi unjuk rasa. Pengawalan atas penegakan hukum perlu dilakukan karena mudahnya hukum diselewengkan oleh penegaknya. Namun masyarakat yang apriori menjadikan pengawalan ini menjadi sulit. Ketidaksadaran kolektif atas potensi yang dimiliki masyarakat perlu di dobrak.

Tidak ada hukum yang tidak adil, semua hukum adalah adil. Yang tidak adil adalah pelaku hukum, dimana hukum melahirkan multi perspektif. Kesatuan perspektif yang terjadi saat ini adalah korupsi. Bunyi pasal bergemerincing bunyi rupiah, dan itulah dikerubuti para pencari keadilan. Hukum tidak hanya indah dalam teks, namun juga indah dalam bentuk rupiah dan menjadi malapetaka bagi kaum lemah tak berduit.

Hukum akan selalu tebang pilih ketika subyektifitas hukum berada dibalik kepentingan aparat penegak hukum. Subyektifitas hukum harus diletakkan pada rasionalitas hukum yang berbasis argumentasi untuk mendukung aksi subyektifitas tersebut. Argumentasi yang lemah bahkan tanpa dasar hukum menjadi pengabaian atas prinsip Negara hukum. Ketakberpijakan hukum menjadi embrio kesewenang-wenangan, bahkan akan lahir bahasa ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Pandangan masyarakat atas hukum yang tebang pilih bertolak dari realitas hukum bahwa dalam hukum terdapat subyektifitas. bagaimana agar hukum tidak subyektif? Pandangan utilitarian dapat digunakan yaitu ketika hukum mendatangkan manfaat bagi sebanyak2nya masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana apabila manfaat bagi banyak orang tersebut ternyata memuat perilaku korup? Pertanyaan ini menjadi penting sebagai antisipasi lahirnya tiran yang lahir dari pemilihan yang demokratis, dan memanfaatkan 'manfaat bagi banyak orang' untuk menarik simpati, namun mengangangi hukum.

Kerinduan atas pemimpin yang merakyat, membela rakyat dapat membuka peluang untuk mengesampingkan hukum apabila nalar public tidak dilatih untuk kritis. Nalar public yang sehat penting untuk terus menjaga kesadaran dalam mengawal setiap kebijakan dan penegakan hukum. Mengawal hukum harus diawal dengan membangun kesadaran masyarakat. Hukum yang tidak terkawal dengan baik akan terus melanggengkan korupsi di republic ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun