[caption id="attachment_96582" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Perdebatan seputar masalah sepakbola Indonesia dari perspektif FIFA ada dua hal. Pertama, proses kandidasi Ketua Umum PSSI dan kedua, keberadaan LPI (Liga Primer Indonesia). Masalah pertama sedikit mengalami ‘pengaburan’ meski sebenarnya tanpa upaya pengaburan tersebut syarat menjadi Ketum PSSI yang dipersoalkan sudah jelas. Syarat yang menyatakan bahwa Ketum PSSI tidak boleh pernah tersangkut masalah kriminal dalam konteks Indonesia (PSSI) menjadi pertarungan penafsiran teks. Pertarungan penafsiran terjadi karena tersusupi kepentingan untuk tetap bisa mencalonkan diri. Ketentuan yang sudah jelas (sedang) diusahakan untuk disalahtafsirkan agar mampu mengakomodasi kepentingan calon yang sudah pernah tersangkut masalah kriminal. Sebagaimana terjadi dalam khasanah ilmu hukum, penafsiran teks menjadi andalan para pengemban hukum dalam mengkaji permasalahan atau kasus-kasus hukum. Dalam pencalonan Ketum PSSI, konsistensi dan komitmen untuk menggelorakan prinsip fair play harus bisa diterapkan. Fair play mengindikasikan adanya kejujuran dalam bermain sepakbola. Sikap jujur dimulai dari (sikap) personal yang akan berpengaruh pada pengelolaan organisasi. Masalah fair play inilah yang salah faktor terbentuknya Liga Primer Indonesia sebagai bentuk kritik atas pengelolaan Liga Super Indonesia (PSSI) dibawah tanggung jawab PSSI. LPI oleh FIFA dipandang sebagai breakaway league atau liga yang memisahkan diri. Istilah ini menarik untuk dikaji dari sisi kebahasaannya. Pertama, memisahkan diri berarti sebelumnya merupakan bagian dari liga (induk). Kedua, secara implisit adanya pengakuan terhadap LPI dimana sebelumnya merupakan bagian dari liga (induk) dan karena faktor-faktor tertentu kemudian memisahkan diri. Ketiga, karena (sedang) memisahkan diri maka terdapat kemungkinan untuk bergabung kembali ke liga (induk). Bertolak dari ketiga pemahaman tersebut, khususnya yang ketiga maka tawaran solusi agar tidak terkena sanksi dari FIFA adalah menggabungkan antara LPI dan LSI. Solusi ini bertolak belakang dengan usulan solusi dari PSSI yang memberi sinyal untuk bergabungnya LPI dalam ‘struktur’ kompetisi PSSI, yaitu di kompetisi Divisi III. Kelemahan mendasar dari usulan PSSI tersebut adalah perbedaan bahwa Divisi III merupakan kompetisi amatir di bawah Badan Liga Amatir Indonesia (BLAI), sedangkan LPI sejak awal adalah liga profesional. Profesional dalam pengelolaan maupun status tim dan pemain yang terlibat dalam liga tersebut. Bagaimana nanti PSSI mengelola LPI di kompetisi Divisi III apabila di dalam kompetisi tersebut (sudah) menggunakan pemain asing? Apakah kemudian PSSI akan membuat aturan yang mengakomodasi pemain asing bermain di kompetisi amatir? Apabila demikian maka akan menguatkan stigma inkonsistensi PSSI dalam mengelola kompetisi sepakbola. Kompetisi amatir yang membolehkan pemain asing main akan mematikan klub-klub Divisi III. Kematian klub-klub tersebut berawal dari ketidakmampuan untuk mendatangkan pemain asing karena kesulitan dana. Dengan demikian usulan PSSI untuk menempatkan LPI di kompetisi Divisi III akan melahirkan komplikasi pengelolaan sepakbola Indonesia. Untuk itu, tawaran solusi penggabungan harus dilihat dari kesamaan semangat antara LPI dan LSI, yaitu profesionalitasnya. Penggabungan tersebut tidak hanya kompetisinya, tetapi juga berkaitan dengan profesionalitas pengelolaannya. Di LPI juga terdapat perangkat pertandingan seperti wasit (dan asisten wasit), dan pengawas pertandingan. Perangkat pertandingan ini juga harus dipikirkan karena ‘pembelotan’ perangkat pertandingan yang sekarang di LPI merupakan hasil kekecewaan mereka atas ketidakprofesionalan PSSI c.q LSI dalam mengelola kompetisi kasta tertinggi. Sisi kelemahan LSI dapat ‘ditutup’ dan ditransformasi dari pengelolaan kompetisi LPI. Bahwa sampai saat ini mayoritas klub-klub yang berlaga di LSI masih mengandalkan dana APBD. Asupan dana dari APBD tidak akan pernah atau akan mengalami kesulitan untuk menjadikan sebuah klub menjadi professional. Karena dalam pengelolaan klub sepak bola akan berkelindan dengan aspek politik daerah dengan segala dinamikanya. Klub sepak bola menjadi ajang pertarungan kepentingan politik elit daerah untuk merebut dukungan atau simpati publik. Akhirnya klub enjadi ‘sapi perahan’ sebagai sarana untuk mengucurkan dana dari APBD yang sebagian dana tersebut mengalir ke kantong elit politik. LPI (dan konsorsium) dapat dilihat sebagai proyek percontohan pengelolaan kompetisi secara professional. Khususnya dalam hal bagaimana klub yang bergabung dalam LPI tidak memperoleh dana dari APBD, melainkan berasal dari dana konsorsium. Ketiadaan dana publik yang berasal dari APBD berarti mencegah terjadinya penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri sendiri alias korupsi. Klub didorong untuk mengelola dirinya sesuai anggaran yang tersedia dan pengelolaan demikian butuh sikap professional dari pengelolanya. Yang tidak kalah penting dalam pengelolaan kompetisi yang professional, kompetisi yang terbebas dari faktor nonteknis. Faktor nonteknis menjadi salah satu penyumbang pembengkakan biaya pengelolaan klub sepak bola. Kompetisi yang berhasil, menghasilkan pemain dan tim yang berkualitas ketika mafia non teknis bisa dihilangkan. Penggabungan LPI dan LSI dapat dilakukan secara alamiah dengan konsisten dengan syarat bahwa klub sepak bola tidak boleh mendapatkan suntikan dana dari APBD. Dalam hal ini pemerintah juga harus konsisten dengan aturan yang melarang penggunaan dana publik/APBD untuk dialokasikan ke klub-klub sepak bola. Konsistensi terkait juga pemberian sanksi apabila kemudian diketahui ada klub yang mendapatkan kucuran dana dari APBD. Dengan syarat ini maka akan terjadi seleksi alami terhadap klub-klub sepakbola yang layak tampil di Liga Super Profesional Indonesia. Konsekuensi lain dari persyaratan bebas dari dana APBD adalah pengapdosian adanya bantuan dana dari pengelola (konsorsium LPI atau BLI-PSSI). Konsorsium LPI menjadi contoh yang baik dengan membagi dana yang diperoleh dari sponsor kepada klub-klub. Untuk mendukung penggabungan alamiah akan ada masa transisi karena apabila semua klub dari LSI dan LPI digabung maka akan membengkak jumlah klub yang akan berkompetisi. Konsep kompetisi dua wilayah bisa dilakukan (lagi) selama masa transisi yang ditentukan untuk melakukan seleksi alami terhadap klub yang benar-benar dikelola secara professional. Masa transisi selama 1-2 tahun cukup untuk dapat melahirkan klub professional. Setelah masa transisi, kompetisi Liga Super Profesional Indonesia dapat digelar dengan jumlah ideal 15-20 klub peserta kompetisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H