Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

KPK & ahistoris-nya DPR

18 September 2012   17:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:16 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi tantangan dari berbagai kekuatan politik dan hukum. Keberaniannya membongkar kasus korupsi anggota parpol baik di lembaga legislatif atau eksekutif dan lembaga penegak hukum (POLRI) menjadi 'boomerang' bagi KPK. Penarikan penyidik POLRI yang ditugaskan di KPK atau dalam bahasa resmi POLRI adalah tidak diperpanjangnya masa kerja para penyidik untuk bertugas di KPK dimaknai publik sebagai bentuk protes atau ketidaksukaan KPK membongkar korupsi simulator SIM. Tindakan KPK bergulir menjadi komoditas politik para politisi di Senayan yang bermaksud menanyakan dan memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi antara lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan menangani kasus korupsi.

Pertemuan yang diinisiasi Komisi III DPR kemudian menggulirkan berbagai usulan yang bukan memperkuat posisi KPK dalam pemberantasan korupsi, melainkan mencoba melemahkannya agar tidak menjadi garang terhadap koruptor.  DPR mungkin lupa atau melupakan diri bahwa kehadiran KPK pasca jatuhnya orde baru karena sudah parahnya korupsi di Indonesia. Istilah extraordinary crime atas korupsi bisa menjadi penunjuk bahwa kesadaran atas darurat korupsi  di Indonesia. Darurat korupsi dimaksud adalah fakta mengenai korupsi sudah mengepidemi penyelenggaraan pemerintahan, termasuk lembaga penegak hukum. Judicial corruption atau mafia peradilan menjadi ungkapan untuk menunjukkan korupnya lembaga penegak hukum (POLRI, Kejaksaan dan Mahkamah Agung).

Kemudian yang mengemuka atas keprihatinan itu adalah "untuk membersihkan lantai kotor dibutuhkan sapu yang bersih". Ungkapan tersebut selanjutnya mewujud menjadi wacana untuk membentuk lembaga baru yang bersih dan mempunyai kewibawaan untuk memberantas korupsi. Lembaga yang mampu menerobos kebuntuan pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga penegak hukum 'konvensional'. Ketidakpercayaan terhadap 'sapu kotor' mendorong untuk membuat 'sapu bersih' guna membersihkan lantai kotor. KPK hadir dalam semangat demikian, sehingga semua pihak yang menolak pelaksanaan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia sebenarnya sedang mengingkari sejarah. Yaitu kondisi yang melatarbelakangi pembentukan KPK di Indonesia, dan situasi sekarangpun belum bisa dikatakan ideal untuk memreteli atau membongkar kewenangan yang sudah dipasangkan pada saat kelahirannya.

DPR, khususnya Komisi III-nya mengapresiasi kerja KPK dan meminta POLRI untuk legowo mempersilahkan POLRI menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk memberantas korupsi. Bukan dengan melakukan penggembosan dan meminta dukungan DPR untuk semakin memperbesar lubang agar gembosnya KPK semakin cepat. Sikap DPR tidak akan demikian apabila tidak ahistoris dalam memaknai kinerja KPK. Dengan melepaskan kewenangan KPK, DPR sedang membiarkan masifikasi korupsi di Republik ini, termasuk membiarkan dirinya (DPR) untuk tidak berada dibawah pengawasan KPK dalam melakukan melaksanakan fungsinya. Pembiaran ini terjadi karena lembaga penegak hukum belum dapat menunjukkan kinerja yang dipercaya dalam pemberantasan korupsi. Dalam hal ini DPR lupa bahwa pandangan masyarakat terhadap lembaga kepolisian sangat buruk.

POLRI dicemooh oleh publik. Ungkapan "polisi tidur saja ganggu orang jalan, apalagi polisi yang bangun" menjadi sarkartisme sosial terhadap polisi. Setali tiga uang dengan kejaksaan dan hakim (Mahkamah Agung), hukum menjadi komoditas dalam sebuah transaksi "keadilan". DPR tidak menyadari bahwa akutnya korupsi dan sulitnya memberantas korupsi karena hukum bisa dibeli di pasar "keadilan'. Hukum yang menjadi komoditas akan berpihak pada siapapun yang mampu membeli hukum dengan harga tertinggi. Pasar lelang hukum mencari mangsa pencari keadilan yang mengandalkan hukum untuk memuaskan kepentingannya, menindas lawan atau bahkan lembaga penegak hukum mendistorsi prinsip equality before the law. Dalam hal ini DPR sedang membutakan dirinya terhadap fakta korupsi dan lebih mengutamakan kepentingannya untuk melanggengkan kekuasaan.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun