Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Korupsi: Super Extra Ordinary Crime

18 Mei 2011   04:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:31 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi yang terjadi di Sesmenpora dengan penetapan 3 (tiga) tersangka mampu menyibukkan Partai Demokrat (PD) untuk melakukan olah citra. Olah citra demi kemonceran tampilan didepan publik, demi konsistensi dalam pemberantasan korupsi sebagaimana di ungkapkan oleh Ketua Dewan Pembina PD yaitu SBY. Tuduhan yang dilontarkan mantan pengacara tersangka korupsi Sesmenpora disikapi serius oleh PD. Keseriusan ditunjukkan dengan pertemuan yang diselenggarakan di Cikeas, dan konferensi pers yang digelar gedung DPR.

Klarifikasi diberikan dengan inti bahwa tidak ada kader PD yang terlibat korupsi Sesmenpora. Benarkah pernyataan PD tersebut? Hanya KPK yang bisa memberikan jawabah atas pertanyaan tersebut, yaitu dalam proses penegakan hukum yang sedang berjalan. KPK perlu menelusuri pernyataan mantan pengacara tersangka yang didasarkan pada BAP. Namun harapan untuk melakukan penelusuran tersebut menjadi buyar ketika KPK memberikan pernyataan bahwa akan mendasarkan diri pada BAP terbaru dari tersangka.

Korupsi menjadi super extra ordinary crime ketika warga bangsa tidak menyadari keseriusan dampak dari kejahatan ini. Ketidakseriusan nampak dari penegakan hukum yang tidak menimbulkan efek jera. Korupsi yang dilakukan di kantor Sesmenpora menjadi bentuk keberanian atau kevulgaran yang dilakukan. Ibarat menampilkan bagian tubuh yang bertujuan menimbulkan syahwat, demikian korupsi yang dilakukan dikantor-kantor pemerintah. Ketidaksadaran dan ketidakjeraan dalam melakukan korupsi menempatkan korupsi tidak hanya extra ordinary crime tetapi super extra ordinary crime.

Korupsi belum dilihat sebagai penyebab dari kemiskinan atau ketidaksejahteraan di Indonesia. Korupsi belum dilihat sebagai penyebab dari buruknya pelayanan publik seperti administrasi kependudukan, pendidikan atau kesehatan. Dan mungkin saja, korupsi menjadi penyebab naiknya harga kebutuhan pokok atau BBM. Ketika korupsi belum disadari sebagai penyebab berbagai masalah yang dialami bangsa ini, maka bangsa Indonesia akan beranggapan bahwa korupsi hanya urusan pelaku korupsi dan aparat penegak hukum. Padahal korupsi adalah tindakan mencuri dana publik untuk memperkaya koruptor. Kesadaran belum sampai pada hilangnya dana publik akan mengurangi kemampuan negara c.q pemerintah untuk memberikan layanan terbaik bagi masyarakat.

Bahkan korupsi berdampak pada direndahkannya bangsa ini dalam pergaulan dengan bangsa lain. Berkaca dari korupsi Sesmempora, Indonesia dicemooh oleh bangsa lain yang mempertanyakan apakah persiapan SEA GAMES tidak terganggu dengan korupsi tersebut. Bahkan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia melalui bidang olahraga di dunia Internasional, warga bangsa berani mengambil untung yang tidak halal demi penebalan kantong pribadi. Apakah dalam konteks demikian, pelaku korupsi tidak berbeda dengan pengkhianat bangsa?

Korupsi sebagai super extra ordinary crime mengingatkan bahwa bangsa ini merasa bisa memberantas korupsi, namun lupa untuk bisa merasa bahwa korupsi berdampak sangat jauh dalam kehidupan warga bangsa. Merasa bisa memberantas korupsi ditunjukkan dengan pemikiran yang bersifat normatif-legalistik. Bahwa dengan dibuat peraturan perundang-undangan akan mampu membangun sistem untuk memberantas korupsi. Kiranya kita perlu belajar bahwa pada awalnya banyak kalangan menilai korupsi terjadi karena UU No. 3 Tahun 1971 tidak cukup memadai untuk menjerat koruptor dan memberikan pidana maksimal. Namun setelah lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 20 Tahun 2001 tidak mampu mengurangi korupsi di Indonesia atau menjerakan aparat penyelenggara negara untuk tidak korupsi.

Salah satu kegagalan peraturan perundang-undangan dalam memberikan efek jera dan tetap menumbuh suburkan korupsi adalah aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum menjadi bagian dari korupsi itu sendiri. Aparat penegak hukum dalam criminal justice system adalah bagian layak direvolusi karena habitus korup sudah luar biasa. Bahkan habitus korup tersebut menular ke lembaga perkasa yang dibentuk karena ketidakpercayaan atas lembaga penegak hukum yang ada yaitu KPK. Ingat kasus penyidik KPK dari POLRI yang terlibat korupsi.

Mengingat kembali ungkapan mantan Jaksa Agung, 'ustadz dikampung maling' adalah benar adanya. Lembaga penegak hukum adalah institusi yang wajib diberantas korupsinya, selain birokrasi pemerintah. Artinya bahwa siapapun yang menggunakan dana publik rentan melakukan korupsi dan wajib diawasi.

Menempatkan korupsi tidak hanya sebagai extra ordinary crime tetapi dengan menambahkan kata 'super' menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi dapat diberantas dengan extra ordinary measures. Pemberantasan korupsi mungkin tidak lagi mengikuti alur berpikir normatif-legalistik, melainkan perlu ditemukan penegakan hukum yang mampu menimbulkan efek jera dan takut. Efek jera dan takut dilakukan dengan menggali kembali konteks lokal dari nilai-nilai budaya bangsa ini. Budaya dalam hal ini tidak hanya sebatas budaya dari leluhur, tetapi budaya kekinian yang terbentuk karena perkembangan jaman.

Misalnya takut miskin. Takut miskin ditengah arus budaya kapitalisme menjadi keniscayaan. Sehingga takut miskin menemukan relevansinya dengan kejahatan karena serakah (crimes by greedy). Korupsi adalah kejahatan yang didorong karena keserakahan. Ingin dipandang kaya dengan penguasaan materi yang luar biasa adalah dorongan untuk melakukan korupsi.

Miskin tidak hanya terkait dengan materi atau harta kebendaan, melainkan strata sosial. Hukuman bagi koruptor bisa didesain menempatkan koruptor tersebut berada pada strata sosial yang secara sosial melahirkan rasa malu bagi individu dan keluarga (besarnya). Metode pelabelan sosial yang tidak melanggar HAM dan berdasarkan nilai-nilai budaya lokal dapat menjadi alternatif pemidaan untuk menimbulkan efek jera dan takut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun