Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Korupsi Sesmenpora, Habitus Korupsi & Korupsi Tiga Kaki

13 Mei 2011   03:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:47 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi Sesmenpora, salah satu kasus korupsi yang ditangani KPK dapat mendapat perhatian 'khusus' dalam pemberitaan media baik cetak maupun elektronik. Perhatian 'khusus' yang diberikan media terkait dengan pertama, tertangkap tangan terduga korupsi oleh KPK diruang kerja. Dan didalam ruang kerja tersebut ditemukan bukti-bukti adanya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Sesmenpora. Kedua, pengakuan pengacara Rosa waktu itu, bahwa korupsi Sesmenpora terkait dengan Partai Demokrat. Pengakuan yang didasarkan pada BAP (pada waktu itu) cukup menyentakkan publik dan langsung menjadi pusat perhatian publik.

Pengakuan bahwa ada dana (korupsi) yang mengalir ke bendahara Partai Demokrat menjadi daya tarik publik dan media untuk menyoroti kasus korupsi ini. Natmun pusat perhatian lain perlu ditujukan pada kasus korupsi Sesmenpora selain dugaan keterkaitan aliran dana korupsi ke bendahara Partai Demokrat adalah bahwa korupsi sudah menjadi habitus. Ketika korupsi sudah menjadi habitus maka penegakan hukum pemberantasan korupsi tidak bisa lagi dilakukan secara extra ordinary, melainkan super extra ordinary. Habitus adalah proses internalisasi seorang individu terhadap berbagai kondisi obyektif yang melingkupinya (http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=629). Artinya bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari 'gaya hidup' dari individu yang mempunyai kekuasaan dalam pengelolaan keuangan (negara).

Gaya hidup terbentuk tidak hanya dorongan dari luar (eksternal), tetapi sudah terjadi proses internalisasi atau penghayatan atas kondisi atau situasi disekitar individu. Proses internalisasi terjadi sebagai bentuk pembelajaran selama kurun waktu tertentu yang dialami individu dalam lembaga tertentu. Pembelajaran menjadi bagian penghayatan atas kondisi korup dari suatu lembaga tertentu dengan melihat lingkungan sekitar yang melakukan korupsi, termasuk individu yang telah terbiasa melakukan korupsi selama berkiprah dalam lembaga tersebut. Habitus merupakan hasil akumulasi pembelajaran dan sosialisasi individu maupun kelompok. Ketidaksadaran kultural yang melekat dalam habitus senantiasa diawetkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan terus menerus diproduksi ulang bagi pembentukan praksis kehidupan sehari-hari (http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=629).

Proses internalisasi yang dilakukan secara berjemaah atau kolektif melahirkan karakteristik kelembagaan dimana individu tersebut berada. Demikian juga dalam hal korupsi, tidak terjadi serta merta, tidak hanya ada niat dan kesempatan tetapi juga karena sudah menjadi habitus. Korupsi Sesmenpora menunjukkan adanya habitus korupsi. Habitus yang ternyata tidak mampu digerus oleh penegakan hukum bahkan oleh lembaga seperti KPK. Pertama, penegakan hukum yang dilakukan tidak menimbulkan efek takut dan jera bagi aparatur negara. Bahkan korupsi dilakukan secara 'vulgar', lokasi kejahatan dan uang disimpan dikantor. Mungkin pelaku belum sempat memindahkan hasil kejahatan, tetapi apabila 'transaksi ilegal' dilakukan dikantor menunjukkan tiadanya rasa takut dan malu dari aparatur negara untuk melakukan korupsi.

Kedua, proyek pembangunan khususnya dalam pengadaan barang/jasa menjadi kegiatan yang rawan korupsi. Prosedur pengadaan yang sudah diperbaiki yaitu Perpres No. 54 Tahun 2010 belum mampu menangkal atau mengantisipasi korupsi di pengadaan barang/jasa. Kesulitan menangkal korupsi tersebut lebih pada habitus korupsi yang menjangkiti aparatur negara dibandingkan dengan keberadaan sistem yang terbentuk dari peraturan perundang-undangan. Hukum yang baik dengan aktor yang buruk akan menghasilkan hukum yang hanya menjadi huruf mati, tak berwibawa. Ribuan kata yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan menjadi mubazir, tak berguna ketika manusianya sudah mempunyai DNA korupsi.

Ketiga, bahwa korupsi saat ini semakin komprehensif dalam hal keterlibatan pelakunya. Korupsi saat ini bukan kejahatan 'one man show' tetapi kejahatan berkelompok yang melibatkan setiap cabang kekuasaan. Tiga kaki korupsi yang teraktual adalah pengusaha (pihak swasta), aparat pemerintah (eksekutif) dan (oknum) anggota DPR (legislatif). Tiga kaki korupsi memperkokoh lingkaran setan korupsi yang kesulitan menemukan siapa yang mengawali, siapa pelaku dan siapa yang menikmati hasil. Ide melakukan korupsi didukung dengan habitus korupsi dari aktornya memperlihatkan korupsi yang semakin sistematis dalam merampok uang rakyat.

Dalam kasus Sesmenpora, teriakan awal tersangka mengenai (dugaan) aliran dana ke anggota DPR dan bendahara Partai Demokrat harusnya menjadi pintu masuk untuk melihat mengguritanya kasus ini. Tetapi sepertinya KPK lebih suka menggunakan pengakuan Rosa terbaru yang tertuang dalam BAP daripada melakukan penyelidikan yang mengacu pada pengakuan awal dia. Perubahan pengakuan menjadi bagian dari indikasi jatuhnya wibawa KPK dimata koruptor. Tersangka koruptor akan mudah mencabut pengakuan apabila pengakuannya disadari akan mengancam keberadaannya, baik memperberat hukuman atau ancaman lain dari pihak-pihak yang terusik dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK.

Untuk itu KPK dan aparat penegak hukum lainnya akan semakin mengalami kesulitan untuk membongkar korupsi karena korupsi yang dilakukan secara sistematis dan melibatkan banyak 'kaki'. Keterlibatan banyak 'kaki akan menjadi tekanan buat aparat penegak hukum ketika korupsi tersebut membentur tembok kekuasaan yang lihat dalam melakukan perekayasaan. Rekayasa yang tidak hanya mengelabui aparat penegak hukum tetapi juga publik atau rakyat Indonesia. Untuk itu perlu kiranya memikirkan pemberantasan korupsi yang super extra ordinary, melampaui model penegakan hukum yang saat ini belum mampu menimbulkan efek takut dan jera. Tetap semangat Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun