Tulisan ini tidak akan membahas tentang minum miras an sich, melainkan minum miras menjadi metafora untuk menunjukkan keterbatasan hukum dalam menjangkau setiap perilaku manusia. Pernyataan 'minum miras sudah menjadi budaya' akan memicu kontroversi yang melahirkan polarisasi dan dikotomi pendapat. Salah satu akar pemicu kontroversi adalah perbedaan sudut pandang atau titik acu yang digunakan dalam melakukan penilaian tentang minum miras.
Bertolak dari idealitas bahwa budaya-lah yang mengkontruksi hukum dan demikian sebaliknya hukum juga mampu mencipta budaya baru yang menggeser budaya lama, maka budaya tidaklah langgeng berwatak tetap tak berubah. Idealitas tersebut berguna untuk mengantarkan pemahaman bahwa hukum juga harus lentur dalam mengkontekstualisasi realita, sekaligus konsisten dalam penegakan hukumnya.
Kelenturan dalam mengkontekstualisasi hukum memaparkan kebutuhan agar hukum tidak selalu ketinggalan dengan dinamika masyarakat. Tetapi ditengah kemampuan mengakomodasi dinamika masyarakat, hukum selalu tampil sebagai pembela keadilan dan menjaga diri dari kesewenang-wenang tafsir yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Hukum yang tampil mengakomodasi dinamika masyarakat, tidak akan pernah tunduk pada upaya 'mengadili' kedinamisan tersebut. Melainkan menjadi penyeimbang dalam menampilkan wajah keadilan yang terkandung didalam hukum dengan dinamika masyarakat. Masyarakat yang dinamis membentuk budayanya, menggeser atau bahkan mengganti budaya baru yang berkembang di masyarakat.
Pergeseran budaya masyarakat ini terkadang tidak 'terpantau' rasa keadilan yang tertuang dalam bunyi teks perundang-undangan. Ketidak-terpantauan inilah yang melahirkan gegar hukum terhadap budaya yang dihasilkan oleh masyarakat. Apakah dengan demikian apabila perilaku korup sudah menjadi budaya, maka hukum perlu mengakomodasi perilaku korup tersebut dengan melakukan pembiaran sebagai bentuk peng-amin-an dari perilaku tersebut?
Pada posisi demikian hukum, harus tampil untuk menguji kaedah-kaedah hukum yang terdapat dalam teks perundang-undangan. Pengujian dilakukan apakah memang hukum yang diterapkan sudah mampu mencegah (pengulangan) perilaku korup atau malah terjadi pengabaian atas sanksi hukum yang sudah ditentukan oleh hukum? Artinya terhadap budaya korup, hukum harus berani dikoreksi yaitu apakah yang salah substansi hukumnya atau hakim yang melakukan penemuan hukum sehingga penegakan hukum terhadap koruptor tidak menimbulkan efek jera bagi orang lain.
Demikian pula dalam kasus tragedi miras oplosan yang menyebabkan puluhan nyawa melayang di Salatiga. Hukum (substansi dan aparat) belum mampu mencegah konsumsi miras, dan ini perlu dilakukan koreksi apakah memang hukum (baca: perundang-undangan) masih mampu untuk menekan konsumsi miras atau tidak.
Korupsi dan minum miras sudah menjadi budaya yang ada dan hidup di tengah masyarakat. Dan terhadap keduanya hukum seolah 'tumpul' dan aparat penegak hukumnya 'mandul' untuk bisa mewujudkan cita hukum yaitu keadilan, kepastian dan ketertiban hukum. Dalam hal demikian maka koreksi atau evaluasi atas teks tertulis dan penafsir teks tertulis perlu dilakukan. Apakah teks tertulis sudah mampu mencegah atau mengurangi korupsi dan minum miras yang sudah menjadi budaya tersebut?
Hukum tumpul dan mandul berhadapan dengan budaya baru, dan tergagap dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran hukum. Apakah dengan situasi seperti ini maka dibutuhkan akomodasi hukum atas budaya-budaya baru tersebut? Artinya mungkinkah legalisasi korupsi dan minum miras. Yaitu dengan batasan atau prasyarat tertentu, sekaligus pemberian sanksi yang berat dan konsisten terhadap pelanggaran pelampauan batasan atau prasyarat yang sudah ditentukan.
Hukum lahir dari masyarakat (ibi ius ubi societas), budaya juga lahir dari masyarakat. Apakah kemudian, hukum begitu akomodatif terhadap sangkaan bhw korupsi dan minum miras yang memiliki daya rusak? Pertanyaan sebaliknya adalah apakah hukum sudah mampu mencegah kerusakan dari berbagai pelanggaran hukum berupa korupsi dan minum miras?
Dua pertanyaan yang menegangkan syaraf dari benturan beragam pendapat. Untuk itu kita perlu berpikir 'out of the box' agar bisa memberi solusi terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat. Permasalahan di masyarakat yang mampu meninggalkan hukum, dan berlari menjauhi cita-cita hukum.