Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kepekokan Konstitusional Komisi III DPR

5 Maret 2012   02:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara etimologis, dalam bahasa pergaulan di masyarakat Jawa pekok berarti bodoh yang merujuk pada lebih dari bodoh. Bodoh dalam bahasa jawa digunakan istilah goblog. Ketika menggunakan istilah pekok maka itu berarti super bodoh, yang merujuk pada istilah dungu. Penggunaan istilah kepekokan untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan subyek sudah diluar batas kewajaran, perilakunya tidak bisa dinalar lagi dengan logika. Apa yang sudah dilakukan subyek dalam hal ini Komisi III DPR RI, sehingga digunakan istilah kepekokan konstitusional?

Pembentukan Panitia Kerja (Panja) untuk melakukan pengawasan putusan-putusan hukum MA adalah sebuah ketidakwajaran dan ketidakmasukalan konstitusional. Ketidakwajaran dan ketidakmasukalan konstitusional berdasarkan prinsip negara hukum yang menempatkan masing-masing kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) adalah independen. Meskipun memang tidak mungkin benar-benar bebas dari pengaruh cabang kekuasaan, namun intervensi langsung dan kasat mata harus dicegah dan dihindari. Apakah dengan demikian ada pengaruh tidak langsung dan tidak kasat mata? Pemilihan pejabat publik yang harus diajukan ke DPR adalah salah satu contoh kemungkinan masuknya pengaruh DPR dalam preferensi pilihan.

Pertama, Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah jaminan bahwa dalam melaksanakan kekuasaan tidak ada pihak manapun yang memberikan pengaruh atau intervensi ketika menyelenggarakan peradilan. Panja yang dibentuk untuk mengawasi putusan-putusan hakim MA dapat tergelincir atau terbujuk untuk mengintervensi pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Apabila alasan pembentukan panja adalah sebagai pengejawantahan fungsi legislasi atau fungsi pengawasan maka DPR (dalam hal ini Komisi III) sedang mencobai konstitusi dan prinsip negara hukum.

Upaya mencobai konstitusi ini akan menggelincirkan DPR menjadi tirani minoritas untuk mengangkangi semua cabang kekuasaan didalam satu tangan yaitu legislatif. Alasan melakukan pengawasan yang didasarkan pada fungsi legislasi adalah sebuah sesat pikir, karena kekuasaan legislatif sebagaimana diatur dalam UUD 1945 adalah kekuasaan membentuk undang-undang. Dalih lain yang dapat dikemukakan DPR adalah melaksanakan fungsi pengawasan. Seolah dalih ini dapat dibenarkan dalam konteks DPR melakukan pengawasan sebagai pengejawantahan sistem checks and balances. Dititik inilah DPR nanti akan mudah tergelincir untuk mengintervensi kekuasaan kehakiman.

DPR akan tergelincir melakukan intervensi ketika dalam melaksanakan fungsi pengawasan akan menggunakan hak-hak yang dimiliki DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Hak-hak seperti hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan pendapat dan usul akan dilakukan sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Ketika DPR menggunakan hak tersebut maka DPR sudah melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.

Kedua, dalam konstitusi sudah mengatur lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945). Namun pengawasan Komisi Yudisial (KY) tidak bersifat mutlak dalam pengertian mengawasi seluruh pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial hanya mempunyai wewenang untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. KY tidak boleh mempengaruhi proses peradilan ketika seorang hakim sedang memeriksa kasus dalam rangka membuat putusan hakim.

Pembentukan Panja untuk mengawasi putusan-putusan hakim MA sepertinya didasarkan pada kerangka berpikir sebagaimana DPR dalam melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum lainnya atau terhadap eksekutif. DPR dapat memanggil KPK, menteri dan lembaga lainnya, namun DPR tidak bisa melakukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Dalam hal pemanggilan tidak membicarakan substansi kasus atau putusan-putusan hakim, atau hanya sebatas penyelenggaraan administrasi peradilan maka itu boleh dilakukan. Namun ketika DPR melakukan dengar pendapat dan substansi dengar pendapatnya adalah memeriksa putusan-putusan hakim MA maka dagelan konstitusional yang didasarkan pada banyolan-banyolan pekok akan terjadi.

Panja yang mengawasi putusan-putusan hakim MA adalah kepekokan konstitusional. Apa yang akan diawasi oleh DPR? Bagaimana mekanisme pengawasan dilakukan tanpa jatuh pada upaya untuk campur tangan (intervensi) terhadap Kekuasaan Kehakiman? Apa sebenarnya tujuan dan latar belakang dari pengawasan putusan tersebut? Berbagai pertanyaan muncul dan harus terjawab untuk mencegah tudingan bahwa DPR tidak lebih dari anak-anak TK yang bermain-main dengan kewenangan cabang kekuasaan sebuah negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun