Pemerintah merencanakan dan segera merealisasikan hujan buatan di beberapa daerah. Hujan buatan adalah solusi cerdas bagi pemerintah yang memilih 'shortcut' dan menjadi refleksi dari kemalasan berpikir. Kekeringan selain disebabkan rendahnya curah hujan di musim kemarau, juga rendahnya kemampuan tanah dalam menyerap air permukaan. Kemampuan tanah menyerap air sangat tergantung dari keberadaan tanaman (pohon) yang berada di permukaan tanah. Ketika tanaman tidak menjadi prioritas, dan dialienasi dari proses pembangunan maka keterparahan dari efek global warming adalah keniscayaan.
Tanpa bermaksud memojokkan pemerintah sekarang, komitmen pemerintah untuk menjaga kesinambungan ketersedian air di waduk atau embung sebagai tempat penampungan air baik air permukaan maupun air tanah. Minimnya komitmen berdampak ikutan bagi pertanian yang mengandalkan ketersedian air dan bidang lain seperti kebutuhan air minum. Lahan pertanian yang mengalami rendahnya pasokan air dan ketergantungan terhadap air hujan akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk pertanian. Tingkat produksi pertanian seperti beras dan kedelai, atau produk buah-buahan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Kebutuhan air untuk pertanian dan kehidupan sehari-sehari menjadi primer untuk menunjang pondasi perekonomian, baik dalam skala lokal maupun nasional. Ketika kekeringan menjadi topik utama kota/kabupaten, dan terjadi dalam skala regional maka kekeringan berpotensi menjadi bencana. Bencana yang ditimbulkan tidak hanya 'keganasan' aklam, melainkan kekurang-bijaksanaannya kita dalam mencandra fenomena alam untuk kemudian mempersiapkan langkah antisipasi. Antisipasi dilakukan dalam kerangka terpadu atau sinergis antar sektor.
Tantangan dalam membangun keterpaduan adalah kemampuan koordinasi dan mengesampingkan ego-sektoral. Kekeringan sedang mengetuk pintu, antipasi yang dilakukan dengan menciptakan hujan buatan bukan solusi Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan lokal dan nasional yang memiliki visi kuat untuk melihat ancaman kekeringan sebagai peluang untuk melayani kepentingan publik yang memiliki dampak berantai. Kekeringan bukan sesuatu yang tidak dapat diprediksi, dan langkah sigap terpadu untuk mengatasinya bukan merupakan tindakan membuang energi.
Bahkan ketika kekeringan tidak terjadi reboisasi atau reforestasi akan memberikan dampak lain untuk mengurangi pencemaran udara, sekaligus sebagai upaya membangun (kembali) ekosistem yang rusak karena arus deras pembangunan. Atau pembangunan waduk sebagai daerah penampungan air permukaan atau air tanah, ketersediaan airnya akan menjaga kesinambungan kehidupan di sekitarnya. Meremehkan kekeringan selama ini adalah bentuk ketidakpedulian menjaga kesinambungan. Kesinambungan ini terputus ketika masyarakat harus berjuang sendiri mengatasi kesulitan mendapatkan air.
Kekeringan yang terjadi karena kegagalan pemerintah untuk menjaga kesinambungan ketersediaan air. Kegagalan yang terjadi tidak hanya gagal mempersiapkan langkah antisipasi kesinambungan, namun juga gagal membangun koordinasi antara pemerintah, civil society dan masyarakat. Pemerintah (dan rakyat) sering hanya fokus pada peningkatan PAD atau politisasi APBD/B dan melupakan pembangunan lingkungan hidup. Pembangunan lingkungan hidup hanya dipahami sebagai prosedur tanpa pemahaman substansi dan terpadu pengelolaan lingkungan. Pembangunan yang diletakkan pada konteks program hanya akan menghasilkan kinerja berbasis program, bukan menjaga kesinambungan daya dukung lingkungan.
Belum terlambat untuk berbenah. Kesadaran untuk melihat bahwa kekeringan bukan hanya fenomena alam semata, melainkan kegagalan kita menciptakan kesinambungan ketersediaan air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H