Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Tunggal, Keindonesiaan Harus Plural

16 Maret 2011   03:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:45 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekerasan melahirkan kekerasan, dan terus mereproduksi kekerasan dan derivasinya. Indonesia sedang menghadapi potensi tsunami kekerasan dan kemungkinan melahirkan gempa atas bangunan Indonesia. Kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan, atau perbedaan pendapat karena perbedaan sudut pandang keyakinan sudah berada dititik kritis. Tanda bahaya atas keaneka-ragaman perlu disikapi dengan ketegasan dalam kerangka penegakan hukum dan penghormatan HAM.


Ketidaktegasan negara dalam menindak kelompok-kelompok yang gemar melakukan kekerasan yang mengatasnamakan keyakinan akan melahirkan gempa atas bangunan Indonesia yang berbhineka. Teror atas perbedaan pendapat/keyakinan sama berbahayanya dengan teror yang dilakukan teroris. Dan memberangus perbedaan (keyakinan) mengingkari hakekat kemanusiaan, mendegradasi kemanusiaan kelompok yang melakukan kekerasan. Negara harus menjaga kebhinekaan dan mengawal kehidupan yang berbhineka.


Kekerasan demi kekerasan yang terjadi karena pembiaran negara. Indonesia yang tunggal dibangun dengan keanekaragaman. Dan pengingkaran terhadap keanekaragaman mengancam keberadaan Indonesia atau bahkan meniadakan Indonesia. Perbedaan terhadap apapun adalah pemberi kontribusi keanekaragaman. Keinginan untuk menunggalkan perbedaan menjadi bentuk pengingkaran hakekat manusia. Manusia memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Indonesia dibentuk oleh manusia yang 'menyatukan diri' berdasarkan kesamaan historis dengan dinamikanya masing-masing.


Kekerasan yang mewujud dalam berbagai bentuknya menjadi kampanye atau propaganda anti-pluralisme. Kekerasan yang sistematis dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan anti pluralisme. Negara harus peka terhadap gerakan ini karena mengancam keberadaan Indonesia. Indonesia yang tidak plural bukan Indonesia. Indonesia yang tidak plural berarti juga tidak demokratis. Ironinya adalah gerakan (politik) yang tidak menghormati pluralisme dapat mengambil kekuasaan dengan menggunakan mekanisme demokrasi.


Negara yang diam, tidak melakukan pembelaan terhadap kekerasan yang dilakukan kelompok anti-pluralisme berarti mengijinkan terjadinya situasi penjajahan dalam bentuk lain. Penjajahan atas perbedaan keyakinan merupakan kolonialisme baru. Negara yang melakukan pembiaran karena diam berarti 'membiarkan' Indonesia kembali pada situasi penjajahan. Gerakan anti-pluralisme berusaha tampil menjadi penjajah atas Indonesia yang berbhineka.


Pertanyaannya adalah siapa yang harus tampil untuk memerdekaan Indonesia dari penjajahan atas keyakinan atau gerakan anti-pluralisme? Semakin genting ketika negara enggan tampil sebagai pembela warga negaranya yang terancam mengalami kekerasan. Ketidaktegasan negara c.q pemerintah (dapat) mendorong kelompok anti-pluralisme melakukan kekerasan. Kekerasan yang ingin menunggalkan keyakinan harus segera dicari solusinya dalam kerangka hukum dan HAM. Negara harus memberi prioritas terhadap kekerasan ini seperti kasus terorisme.  Ketika negara tidak bisa memberikan solusi maka tidak hanya membiarkan warga negara mengalami penindasan (baca: kekerasan), tetapi juga membiarkan Indonesia tenggelam menghilang karena keinginan untuk menunggalkan keIndonesiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun