Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum yang Berkeutamaan Kejujuran Memancarkan Pesona Keadilan

25 Februari 2011   08:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:17 987
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakekat hukum adalah keadilan, tanpa keadilan hukum tidaklah layak disebut hukum. Hukum yang berkeadilan hanya ada didalam teori yang dikemukakan di dalam ruang-ruang kuliah. Realitas hukum dalam masyarakat berkebalikan dengan yang dicita-idealkan. Kebalikan yang berkesenjangan telah menjauhkan hukum dari hakekatnya. Keadilan menjadi jargon, belum menjiwai seluruh aspek berhukum kita.

Cara berhukum kita menjauhi (nilai-nilai) keadilan, bahkan mengingkari untuk mengejar-raih 2 cita hukum yang lain yaitu kepastian hukum dan ketertiban. Tolak-tarik antara keadilan, kepastian dan ketertiban hukum menjadi isu penting dalam pengembanan hukum. Isu penting tersebut kemudian menjadi problematika keprioritasan ketika melaksanakan penegakan hukum. Penegakan hukum oleh para pengemban hukum menghadapi dilema pilihan antara keadilan, kepastian dan ketertiban.

Dilema atas pilihan sangat rumit dalam aras dampak yang ditimbulkan, dimana akan ada pengorbanan dari satu atau dua cita hukum ketika pilihan sudah ditentukan. Dalam penegakan hukum, ketika pengemban hukum memilih untuk mengutamakan kepastian hukum maka dua cita hukum yaitu keadilan dan ketertiban akan dikesampingkan. Demikian juga apabila keadilan yang diprioritaskan maka penegakan hukum akan tampil seolah tak berketertiban dan berkepastian (hukum).

Yang menarik dari tolak-tarik tersebut adalah posisi keadilan yang menjadi 'pusat' atau inti dari hukum berhadapan dengan dua cita hukum yang lain dalam penegakan hukum. Aparat penegak hukum sering dalam mengolah hukum mengedepankan cita kepastian dan ketertiban. Dalam hal ini, hukum dipandang sebagai alat untuk mencipta kepastian ketika timbul masalah yang melahirkan ketegangan di masyarakat. Sekaligus dengan mencipta kepastian maka ada (harapan) untuk terjadi ketertiban dalam interaksi bermasyarakat.

Kepastian dan ketertiban menjadi prioritas dan diutamakan dalam penegakan hukum. Proses (penegakan) hukum mengejar asa keduanya memandang hukum sebagai sarana peredam konflik atau ketegangan yang terjadi dalam masyarakat. Konflik atau ketegangan yang tercipta karena adanya pelanggaran hukum. Hukum yang dilanggar menghasilkan ketakberaturan dalam hidup bermasyarakat yang dapat mengarah pada terbentuknya situasi chaos. Situasi chaos inilah yang hendak dicegah-hindari agar tetap terjaga kedamaian atau keharmonisan hidup bermasyarakat. Pandangan hukum sebagai peredam konflik menjadi pendukung pandangan yang lain yaitu bahwa dalam masyarakat yang berkedamaian akan dapat optimal untuk mewujudkan cita-cita nasional.

Penegakan hukum berkorelasi dengan pencapaian cita-cita nasional, harus menjadi pedoman dalam mengolah dan mengemban hukum kita. Penegakan hukum yang tidak berkontribusi dalam pencapaian cita-cita nasional perlu dipertanyakan efektivitasnya. Refleksi atas kegagalan penegakan hukum yang demikian menjadi pemicu untuk kembali berpikir ulang, apakah pengutamaan kepastian dan ketertiban hukum sudah menjadi faktor penting dalam pencapaian cita-cita nasional? Penegakan hukum yang berkepastian dan berketertiban selama ini hanya untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan sejati.

Hukum berubah menjadi sarana balas dendam, bahkan masih jauh untuk mendamba hukum sebagai sarana rehabilitasi atau memulihkan ketegangan yang muncul karena pelanggaran hukum. Hukum yang berbalas dendam identik dengan hukum yang bersifat represif dengan kosmetika kekerasan yang memancar dalam penegakannya. Kekerasan disini tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga psikis yang lahir karena proses penegakan hukum yang dilakukan lembaga penegakan hukum. Kekerasan juga tidak terbatas pada dua kategori fisik dan psikis, tetapi kekerasan yang berwujud dan tak berwujud.

Kekerasan fisik dalam penegakan hukum dapat menjadi bagian dari bentuk kekerasan berwujud yang dapat di indera, seperti pukulan atau manifestasi siksaan dalam proses penegakan hukum. Berbeda dengan kekerasan psikis yang belum tentu merupakan kekerasan tak berwujud. Kekerasan psikis memberi pengaruh kondisi kejiwaan pihak yang mengalami kekerasan. Kekerasan tak berwujud dari aparat penegak hukum adalah ketika penegakan hukum gagal meraih ketiga tujuan hukum atau lebih mengutamakan pencapaian tujuan untuk ketertiban dan kepastian (hukum).

Ketika keadilan tidak mewujud dalam maka sedang terjadi kekerasan terhadap hukum dan masyarat. Keadilan tidak bisa diukur tetapi bisa dirasakan oleh sanubari masyarakat. Keengganan pengemban hukum untuk menempatkan keadilan karena pertama, keadilan merupakan sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang tidak dapat diukur, tidak dapat kuantifikasi dalam bahasa hukum. kedua, nurani pengemban hukum sudah mati atau sengaja dimatikan dengan syahwat kerakusan ekonomi untuk memuaskan roh hedonisme yang meliar dalam benak mereka.

Keadilan yang mampu diidentifikasi oleh hati nurani. Dan hati nurani yang mati tidak akan pernah mampu menghasilkan keadilan atau menginderanya demi kepentingan penegakan hukum. Matinya nurani tidak seketika, melainkan proses berkelanjutan dalam  cara berhukum. Proses berkelanjutan tersebut ditingkahi dengan role model dari teman sejawat dan ketidakmampuan mempertahankan integritas diri. Bahkan nilai-nilai keyakinan yang bersifat transedental tidak mampu mempertahankan diri dari godaan untuk mengamini paham materialistis yang ber-rohkan hedonisme.

Dalam situasi pengemban hukum yang demikian maka harapan untuk mencipta keadilan hukum menjadi utopis. Keadilan menjadi jauh dari hukum. Hasil dari proses cara berhukum dan penegakan hukum yang dilakukan tidak akan berkeadilan. Pengemban hukum akhirnya kesulitan mengartikulasi keadilan dalam berolah hukum, dan kemudian hukum hanya mampu menampilkan cita hukum yang berkepastian dan berketertiban. Itupun bukan berarti bahwa kepastian dan ketertiban bisa terjadi sebagai karakteristik cara berhukum Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun