Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukum Berada di Ruang Hampa

17 April 2012   02:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul diatas akan bertentangan dengan pendapat para pendukung sosiologis hukum khususnya penganut Tjipian. Hukum tidak berada diruang hampa, yang meletakkan hukum dalam kaitannya dengan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Bangunan pemikiran Tjipian adalah hukum harus dilihat dari hukum yang ditegakkan, diterapkan, bahkan diterjemahkan oleh masyarakat. Hukum yang sosiologis adalah hukum yang mampu melayani kepentingan manusia, bukan sebaliknya (ide dari hukum progresif yaitu hukum untuk manusia). Hukum yang melayani selalu mengikuti bandul perkembangan masyarakat, mengalami pemaknaan sesuai dengan penafsiran dari masyarakat.

Tafsiran masyarakat (termasuk aparat penegak hukum) adalah hukum yang sebenarnya. Berbeda dengan hukum tertulis (black law letter) belum berbaur dengan masyarakat yang memiliki system dan subsistemnya. Hukum yang belum berbaur bukanlah hukum, karena belum menampilkan diri dan teruji dengan situasi factual dimana hukum diterapkan. Hukum seolah mengalami pemilahan antara hukum tertulis dengan hukum yang diterapkan. Bahkan bisa ditambahkan nilai-nilai atau pertimbangan yang menjadi dasar pembentukan hukum sebagai pra hukum. Pra hukum inilah yang kemudian terabstraksikan menjadi hukum oleh pembentuk hukum seperti DPR atau hakim.

Hukum yang diterapkan bersumber pada hukum yang tertulis. Dalam hal demikian dapat menghasilkan hukum ‘baru’ apabila penerapan hukum ‘menjauh’ atau ‘menyimpang’ (bukan melanggar) dari hakekat teks sebenarnya. Hukum tertulis menjadi sumber bagi hukum yang diterapkan, dan mampu mengambil rupa hukum yang berbeda dengan sumbernya. Inilah yang menjadi salah bentuk progresifitas hukum yang selalu mengubah dirinya sesuai dengan ‘ruang’ dimana hukum ditafsir-terapkan. Dalam kondisi demikianlah lahir thesis bahwa hukum tidak berada diruang hampa, karena hukum selalu berada dalam penerapan dan mendapatkan pemaknaan dari masyarakat dimana hukum tersebut diterapkan.

Pertanyaannya adalah mengapa diajukan judul hukum berada di ruang hampa? Ruang hampa mengandaikan kondisi tanpa gravitasi, dan sebuah benda yang berada diruang hampa maka akan melayang-layang. Bukankah hukum yang belum diterapkan akan melayang-melayang sendiri, dan akan mendarat sesuai dengan tarikan ketika terdapat gaya gravitasi? Ketika hukum diundangkan atau dipositifkan yang berasal dari materi pra hukum, bukankah hukum tersebut berada di ruang hampa. Hukum tersebut tak terikat dengan apapun selain ‘melayang’ sebagai teks tertulis. Sebagai teks tertulis, hukum tersebut tak berarti, belum bermanfaat apapun selainkeberadaannya yang kemudian dapat berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat.

Hukum berada diruang hampa, ketika hukum masih menjadi potensi untuk mengatur kehidupan. Ketika potensi tak diberdayakan atau digunakan maka hukum masih melayang dalam ruang hampa. Hukum belum terikat oleh daya gravitasi, dan belum melekat untuk kemudian digunakan mengatur atau menciptakan ketertiban. Hukum yang masih diruang hampa belum mampu memenuhi kualifikasinya untuk memenuhi tri-tujuan hukum yaitu keadilan, ketertiban dan kepastian. Tujuan hukum tersebut sekaligus menjadi daya gravitasi untuk mengikat atau melekatkan hukum terhadap situasi sosialnya. Situasi social menjadi wahana bagi hukum untuk menampakkan kebergunaannya dalam mencapai tri-tujuan hukum.

Teks tertulis yang dituangkan dalam aneka peraturan perundang-undangan akan terus melayang diruang hampa apabila tidak ada gravitasi yang menarik hukum tersebut. Pertama, hukum hanya menjadi teks tertulis dan menjadi mati sejak diundangkan manakala hukum tidak diterapkan atau tidak digunakan. Kedua, hukum yang diterapkan mengalami pergumulan dalam pencapaian tri-tujuan hukum. Apakah pencapaian tujuan hukum harus secara simultan ataukah ketika tujuan hukum tercapai hanya satu atau dua saja dapat dinyatakan bahwa tujuan hukum sudah tercapai? Apakah apabila hukum tidak mampu mencapai tri-tujuan hukum maka sebenarnya hukum masih berada diruang hampa?

Dalam hal demikian hukum yang tidak mampu mewujudkan tujuan hukum, dapat dilihat sebagai hukum yang melayang belum mengetahui tujuan keberadaannya. Tolak-tarik ketiga tujuan hukum menjadi salah satu isu sentral dari kajian hukum. Manakah dari ketiga tujuan tersebut yang mampu menjadikan hukum yang sebenarnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menjadi relevansi untuk ‘mengisi’ ide hukum progresif yaitu hukum untuk manusia. Keberadaan hukum untuk manusia diletakkan pada bandul yang terarah dari pencapaian tujuan hukum. Ketika bandul tujuan hukum hanya mengarah pada pencapaian ketertiban, dan mengabaikan dua tujuan yang lain maka hukum akan mudah tergelincir pada penghambaan pemegang kekuasaan (baik mayoritas maupun minoritas). Demikian pula apabila hukum diterapkan untuk tujuan kepastian hukum maka akan terjebak pada penerapan hukum yang kaku-prosedural.

Progresifitas hukum terkoreksi dengan sejauh mana tujuan hukum yang tercapai. Tidak sekedar hukum untuk manusia, namun sejauhmana hukum merealisasikan tujuan keberadaanya. Ketika hukum hanya sekedar untuk manusia maka penerapan hukum ala kadarnya dapat terjadi. Ke-alakadaran penerapan hukum dapat menggiring pada pengabdian yang buta terhadap manusia, dan pengabdian tersebut khusus bagi kelompok manusia yang memiliki pengaruh dalam bekerjanya hukum. Tantangan dari pendapat ini adalah kemuskilan dalam mewujudkan tri-tujuan hukum secara simultan. Namun perlu diingat bahwa hukum adalah sebuah bentuk ideal. Sehingga mendambakan tercapainya tri-tujuan hukum secara simultan meski merupakan sebuah ideal tetap harus diupayakan dalam bekerjanya hukum.

Hukum yang masih diruang hampa ditarik oleh tri-tujuan hukum dengan pemaknaan yang progresif akan menempatkan hukum tidak lagi berada diruang hampa (lagi). Keberadaan hukum dengan progresifitas penerapannya tetap perlu mengacu pada realisasi tri-tujuan hukum secara simultan. Meski progresif, tetap harus diletakkan pada tujuan hukum. Karena apabila tercerabut dari tri-tujuan tersebut maka hukum (yang) progresif akan kembali berada diruang hampa. Situasi demikian akan melahirkan kehampaan hukum, dan kemudian terkoreksi (lagi) dengan pertanyaan apa kegunaan hukum (yang progresif) bagi pencapaian tri-tujuan hukum.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun