Mohon tunggu...
yakub adi krisanto
yakub adi krisanto Mohon Tunggu... -

hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hakim Tipikor Tertangkap Tangan, Apakah Pengacara adalah Tempat Menjadi Makelar Kasus?

19 Agustus 2012   08:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:32 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peringatan hari kemerdekaan diPengadilan Negeri Semarang diwarnai dengan drama penangkapan hakim tipikor. Heru Kusbandono dan Kartini Marpaung adalah 2 hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap sebesar Rp. 150 juta untuk mengatur atau merekayasa kasus tipikor yang sedang di proses disalah satu pengadilan tipikor. Penangkapan tersebut seolah membenarkan dugaan aktivis anti korupsi di Jawa Tengah bahwa Pengadilan Tipikor Jateng adalah pembela koruptor. Dugaan tersebut didasari atas 'prestasi' pengadilan tersebut dalam membebaskan koruptor. Putusan hakim yang membebaskan koruptor tentunya bukan sepenuhnya didasari dengan pertimbangan hukum yang obyektif, melainkan atas dasar asupan materi yang ditawarkan koruptor untuk membeli 'palu' hakim.

'Prestasi' hakim yang tertangkap tangan KPK di hari kemerdekaan benang merahnya adalah pertama, membebaskan 5 terdakwa korupsi di Pengadilan Adhoc Tipikor Semarang. Sebuah prestasi yang fenomenal ditengah gencarnya bangsa ini memberantas korupsi. Untuk itu diusulkan kepada MA untuk mengkaji ulang putusan-putusan hakim Kartini Marpaung sebelumnya. Atau kalangan civil society seperti LSM anti korupsi dan perguruan tinggi untuk mengeksaminasi putusan yang dihasilkan oleh hakim Kartini Marpaung. Kajian atau eksaminasi putusan dilakukan untuk melihat kualitas putusan, apakah obyektif ataukah berdasarkan 'pesanan' dari pihak yang sudah membeli atau memesan putusan hakim.

Kedua, bahwa kedua hakim yang tertangkap tangan sebelum menjadi atau terpilih sebagai hakim adhoc tipikor adalah seorang pengacara. Dalam hal ini korupsi adalah tindakan yang tidak muncul secara tiba-tiba atau dipengaruhi oleh sebuah sistem yang korup, melainkan korupsi merupakan proses belajar. Heru Koesbandono dikenal segelumnya sebagai pengacara yang membela perkara korupsi. Apabila mengacu pada tindakan yang tertangkap tangan KPK maka dapat ditarik kesimpulan (sementara) bahwa ketika berpraktek sebagai pengacara menempatkan dirinya sebagai perantara pihak berperkara dengan polisi, jaksa atau hakim yang menangani kasus korupsi kliennya. Bahkan setelah menjadi hakim, perilaku tersebut masih diperankan dengan mengambil posisi sebagai pihak yang mempunyai kewenangan membuat putusan.

Hakim adhoc tipikor yang semula diharapkan menjadi penyebar virus antikorupsi di pengadilan ternyata malah menjadi sumber virus korupsi. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari proses rekrutmen hakim adhoc tipikor, rekrutmen harus menyentuh pada aspek sejarah profesi calon hakim. Sejarah profesi dilihat untuk mengetahui rekam jejak masa lampau, apakah mempunyai pengalaman melakukan tindakan korupsi ataukah pernah terlibat pada jejaring korupsi. Pengacara adalah salah profesi yang rentan untuk melakukan transaksi hukum. Ditengah sistem peradilan yang korup, pengacara dapat mudah terlibat pada jejaring korupsi, contoh paling kasat mata adalah menjadi makelar kasus daripada menjadi advokat untuk menegakan hak-hak tersangka atau terdakwa.

Pengacara tidak lebih dari sekedar makelar kasus yang mempertemukan pihak berperkara dengan aparat penegak hukum. Sebagai makelar, maka pengacara hanya memikirkan uang sebagai hasil permakelaran dengan mengabaikan hukum. Hukum hanya digunakan sebagai alat untuk mengambil untung dari perkara yang menjadi kasus di lembaga penegak hukum. Hukum tidak lebih dari sekedar alat transaksi antara pihak yang berperkara dan aparat penegak hukum. Inilah korupsi yang mengakibatkan pemberantasan korupsi di Indonesia tidak menimbulkan efek jera. Karena masyarakat yang berperkara akan memandang rendah hukum dan aparatnya. Hukum dan aparatnya dapat dibeli berdasarkan kemampuan atau daya beli pihak yang sedang berperkara.

Untuk itu KPK harusnya fokus kepada korupsi hukum atau korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum. Keberhasilan KPK mengungkap korupsi legislatif dalam pembahasan anggaran pembangunan atau korupsi eksekutif dalam pengadaan barang/jasa harus diarahkan pada korupsi yudikatif dan aparat penegak hukum (polisi dan jaksa). KPK sudah memulai dengan kasus korupsi korlantas Polri, tentunya di kepolisian tidak hanya di korlantas terjadi korupsi. KPK harus mengungkap korupsi yanag terjadi lembaga penegak hukum, untuk tidak memberi pesan bahwa KPK berani mengungkap kasus korupsi lembaga penegak hukum. Tidak hanya sekedar 1-2 kasus korupsi, tetapi membalikkan pandangan bahwa korupsi yang terjadi adalah di proses pengadaan barang/jasa yang mendominasi pengananan korupsi KPK sejak kelahirannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun