Gelora revolusi yang diawali dari Tunisia ibarat virus ganas yang menyebar cepat ke negara di Jazirah Arab. Mesir dengan revolusi melati-nya, Jordania dengan antisipasi respon yang baik dari pemegang kekuasaan, Bahrain kemudian revolusi berdarah di Lybia. Terdapat benang merah (gerakan) revolusi tersebut, yaitu pertama, negara yang terimbas 'euphoria' revolusi merupakan negara yang pemegang kekuasaannya lebih dari 20 tahun. Lamanya pemegang kekuasaan membosankan warga negara. Dan keberhasilan ekonomi yang diraih oleh penguasa tidak menjamin warga negara tidak bosan.
Demokratisasi dengan tuntutan kebebasan politik menjadi daya tarik warga negara untuk melepas belenggu keterbatasan yang dicipta oleh penguasa. Warga negara mulai tidak nyaman dengan kondisi serba terbelenggu, serba diatur oleh penguasa. Khususnya di aspek kehidupan yang berkaitan dengan politik (dan kekuasaan), warga negara membutuhkan aktualisasi kepentingan yang mampu direpresentasi oleh pemegang pemerintahan.
Kedua, respon rejim terhadap gerakan massa anti pemerintah menentukan masif tidaknya gerakan tersebut dikemudian hari. Terdapat 3 (tiga) respon yaitu menolak, mengulur waktu, dan respon preemtif-antisipatif. Penolakan terhadap tuntutan rakyat yang turun kejalan berkaitan dengan lamanya kekuasaan dipegang pemimpin negara terkonversi menjadi dukungan yang semakin meluas. Bentuk penolakan cenderung dilakukan dengan cara represif dan menggunakan aparat negara untuk melakukan kekerasan terhadap warga negara.
Libya, menjadi salah satu contoh kebrutalan sikap penguasa yang menolak sikap kritis warga negaranya yang menuntut mundurnya pemimpin negara. Akibatnya adalah [1] solidaritas warga negara terbentuk dan semakin memperkuat dukungan terhadap gerakan anti pemerintah; [2] dukungan tersebut membuat kesatuan negara menjadi terbelah antara pihak yang pro dan anti pemerintah; [3] penguasa menggunakan segala cara untuk meredam atau membungkam suara rakyat, bahkan kalau perlu menggunakan kekuatan senjata untuk membunuh rakyatnya sendiri.
Respon kedua adalah mengulur waktu, Mesir dapat menjadi contoh respon mengulur waktu dengan harapan terdapat celah kesempatan untuk meredam aksi demonstrasi yang dilakukan oleh pihak anti pemerintah. Mengulur waktu dengan seolah-olah memenuhi tuntutan pihak pemrotes dengan menawarkan waktu tertentu menurut penguasa yang tepat untuk melepaskan atau meninggalkan kekuasaannya. Upaya mengulur waktu yang sejatinya untuk meredam tuntutan berubah menjadi lantangnya pemrotes untuk semakin memperjuangkan tuntutannya. Dan akhirnya solidaritas terbangun untuk bersama meminta penguasa meninggalkan kekuasaan yang sudah dipegangnya puluhan tahun.
Respon ketiga adalah bersifat preemptif-antisipatif. Jordania menjadi contoh dari negara yang menggunakan respon sebelum meluaskan aksi protes terhadap penggunaan kekuasaan yang digunakan selama ini. Cepat tanggap dan kemampuan melihat potensi ancaman terhadap kekuasaan, serta kemungkinan 'mewabah'nya virus revolusi mendorong penguasa Jordania melakukan perubahan terbatas dalam penyelenggaraan dan pengelolaan negara.
Ketiga, menggunakan media sekaligus memberangus media. Media mempunyai peran penting dalam gerakan revolusi. Peran penting tersebut dipahami betul oleh penguasa, sehingga akses dan intervensi atas media menjadi prioritas utama dalam menahan laju gelombang protes. Media cetak dan elektronik coba dikontrol untuk memproteksi informasi atau membatasi penyebaran informasi yang dapat membahayakan keberlangsungan rejim.
Penguasa ternyata terlambat menyadari bahwa kemajuan teknologi informasi telah menghasilkan bentuk media lain yang sulit untuk dikontrol atau diintervensi. Internet, dengan jejaring sosialnya menjadi salah satu tulang punggung masifnya gerakan anti pemerintah yang mengarah pada peluang revolusi. Media cetak dan elektronik mampu diintervensi, tetapi internet dengan informasi berbagai arah telah mampu menyebar-luaskan pengaruh bagi penggunanya. Internet menjadi media informasi yang nyaris tak terkontrol oleh penguasa. Bahkan cyber-activist siap membantu kelompok pro demokrasi untuk tetap bisa menyuarakan kepentingan ke sesama warga negara atau dunia internasional.
Keempat, berkaitan dengan durasi kekuasaan yang dipegang terdapat tokoh yang menjadi musuh bersama. Tunisia dengan Ben Ali-nya, Mesir dengan Hosni Mubarak, Lybia dengan Khadafi-nya, menunjukkan bahwa dibutuhkan musuh bersama agar gerakan revolusi mendapat dukungan, meski itu bukan faktor tunggal.
Berkaitan dengan merah keempat, di Indonesia memang SBY bukan termasuk kriteria pemimpin negara yang sudah berkuasa puluhan tahun. Tetapi sisi lain Republik ini menunjukkan ada tokoh yang sudah berkuasa dan mencoba mempertahankan kekuasaan yang bertentangan dengan akal sehat. Atau tokoh yang mengawali 'perang terbuka' untuk memberangus kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi.
Seminggu yang lalu, hampir dalam waktu yang bersamaan dimana belum ada yang menyuarakan revolusi PSSI tetapi sudah ada pihak yang membunyikan genderang perang untuk memberangus kebebasan pers. Dua-tiga hari ini, wacana revolusi PSSI menggema, membahana bahkan meraung-raung menuntut petahana Nurdin Halid untuk mundur dan merombak PSSI. Bahkan supporter sudah melakukan unjuk rasa di kantor PSSI, dan Pengprov Jatim 'mengirim' orang untuk berdemontrasi ke kantor PSSI. Bahkan Pengprov Jabar dan Jatim sudah mengancam akan membentuk PSSI tandingan.