Di wilayah Tegal Ombo Salatiga terdapat bukit yang semula asri, dipenuhi pepohonan yang menghijaukan kontur tanah landai. Rencana pembangunan yang dilakukan oleh salah satu perguruan tinggi telah merubah keasrian bukit tersebut. Penebangan pohon dilakukan, dibabat di lokasi yang menjadi bagian dari rencana pembangunan. Alhasil, lanskap yang semula hijau berubah menjadi coklat karena tanah terekspose nyata setelah warna hijau dari pepohonan diberangus oleh pemilik tanah. Longsor dan banjir lumpur dari tanah yang terekspose dan tak terikat akar pohon menjadi keniscayaan ketika hujan datang dan menguyur permukaan tanah.
Bergantinya warna permukaan tanah, gundulnya lereng bukit yang semula asri adalah manifestasi perubahan dari rencana sebuah pembangunan. Perubahan tersebut mempengaruhi kondisi lingkungan hidup dari bukit yang dikepras, tidak hanya tingkat kemiringannya tetapi juga pohon-pohon yang berfungsi menahan laju tanah dengan akar pohon yang mengikat tanah dari longsor akibat gerusan air maupun sebagai konsekuensi dari kemiringan tanah. Isu mengenai perubahan ini menjadi bagian dari tulisan yang hendak mengupas Analisis mengenai Dampak Lingkungan(AMDAL) yang dibutuhkan dalam setiap kegiatan yang mempengaruhi lingkungan hidup. Pertanyaan krusial dari isu yang dikemukakan adalah apakah AMDAL dilakukan sebelum, pada saat atau sesudah suatu kegiatan dilakukan? Bagaimana apabila perubahan lingkungan hidup sebagaimana dikemukakan diatas sudah terjadi sebagai akibat dari sebuah kegiatan yang dilakukan, dan AMDAL baru diajukan setelah adanya perubahan?
Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) berdasarkan Pasal 1 angka 11 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa AMDAL, pertama, merupakan sebuah kajian dan kedua, konsekuensi dari kata ‘direncanakan’ dan frasa ‘proses pengambilan keputusan’. Untuk itu AMDAL adalah kegiatan ex-ante dari sebuah kegiatan dan pengambilan keputusan, yang mendahului rangkaian kegiatan atau proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha.
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup WAJIB memiliki AMDAL (Pasal 22 UU PPLH). Ketentuan dalam pasal tersebut belum memberikan jawaban atas pertanyaan kapan seharusnya AMDAL diajukan, sebelum, pada saat atau sesudah kegiatan dilakukan? Pasal 24 UU PPLH mengemukakan bahwa dokumen AMDAL merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Apabila kedua ketentuan tersebut ditautkan maka dapat diketahui bahwa syarat keputusan kelayakan lingkungan hidup didasarkan pada kajian mengenai dampak penting suatu kegiatan yang direncanakan. Apakah pemrakarsa atau pemilik tanah atau pihak yang berencana melakukan pembangunan di lokasi bukit Tegal Ombo memiliki pandangan bahwa tindakan yang dilakukan tidak menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.
Pertanyaan pada paragraf sebelumnya muncul karena AMDAL baru diajukan setelah kegiatan menebang pohon yang merubah permukaan tanah dari ‘hijau’ menjadi coklat, dan rendahnya daya ikat tanah karena kehilangan pengikat alamiahnya yaitu pohon. Apakah belum diajukannya AMDAL atau diajukan setelah adanya tindakan penebangan pohon dan menimbulkan perubahan permukaan tanah menegaskan anggapan yang dimiliki bahwa tindakan yang dilakukan tidak menimbulkan dampak penting. Pasal 22 ayat (2) juncto Pasal 23 UU PPLH memberikan kriteria dampak penting, dan yang relevan dengan tanah bukit di Tegal Ombo antara lain besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; luas wilayah penyebaran dampak; intensitas dan lamanya dampak berlangsung; banyaknya komponen lingkungan hidup yang akan terkena dampak dan sifat komulatif dampak. Pasal 23 UU PPLH mengatur mengenai kegiatan yang wajib AMDAL, dan diatur lebih lanjut (baca: rinci) dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha atau Kegiatan yang Wajib dilengkapi dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan. Dan mengacu pada lampiran I Peraturan Menteri tersebut maka bidang pendidikan tidak termasuk daftar wajib usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL.
Apakah dengan tidak masuknya bidang pendidikan dalam daftar usaha wajib usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak penting, sehingga AMDAL diajukan setelah kegiatan penebangan pohon dan mengubah lereng bukit dilakukan? Dalam Pasal 34 ayat (1) jo Pasal 1 angka 12 UU PPLH menyatakan, pertama, kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria memiliki dampak penting wajib memilik Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL). Kedua, UKL-UPL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Apabila mengacu pada ketentuan UKL-UPL maka berkaitan lembaga pendidikan yang akan membangun di lereng bukit di Tegal Ombo dapat diajukan pertanyaan apakah bidang pendidikan termasuk dalam kriteria kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL? Pasal 36 ayat (2) UU PPLH menyatakan kriterianya adalah tidak termasuk dalam usaha dan/atau kegiatan yang memiliki dampak penting dan kegiatan usaha kecil dan mikro.
Bertolak dari pernyataan pendapat diatas maka bisa jadi bidang pendidikan tidak termasuk dalam kegiatan yang memiliki dampak penting. Sehingga cukup mengajukan UKL-UPL saja ketika hendak melakukan pembangunan bangunan tempat melaksanakan proses belajar mengajar. Namun mengapa lembaga pendidikan tersebut mengajukan AMDAL, meski sudah melakukan tindakan penebangan pohon dan merubah permukaan tanah di lereng bukit yang akan menjadi lokasi pembangunan? Apakah tidak seharusnya sebelum melakukan penebangan pohon dan merubah permukaan tanah mengajukan AMDAL terlebih dahulu? Dampak lingkungan dari tindakan penebangan pohon dan merubah permukaan tanah benar ada dan terjadi pasca tindakan tersebut.
Dari berbagai pertanyaan tersebut mengemuka pertanyaan krusial bagi lingkungan hidup dan kepatuhan terhadap hukum, yaitu apakah tidak sebaiknya AMDAL tidak diberikan? Sehingga tidak ada dasar untuk mengeluarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup. Pertama, tindakan dilakukan dan secara factual mempengaruhi lingkungan hidup pasca penebangan pohon dan perubahan permukaan tanah. Kedua, pengajuan AMDAL dilakukan setelah adanya tindakan yang mempengaruhi lingkungan hidup. Artinya kesadaran kepatuhan hukum terlambat dan dilakukan setelah dampak lingkungannya terjadi.
Pertanyaan sugestif dikemukakan karena (dokumen) AMDAL menjadi dasar pertimbangan untuk mengeluarkan izin lingkungan (Pasal 36 ayat (1) UU PPLH). Secara a contrario, ijin lingkungan baru keluar setelah adanya keputusan kelayakan lingkungan hidup yang didasarkan pada dokumen AMDAL. Asumsinya dalam konteks tindakan atas lereng bukit Tegal Ombo adalah belum adanya ijin lingkungan bagi pemilik atau pihak yang akan memanfaatkan lereng bukit tersebut. Ijin lingkungan belum ada tetapi tindakan yang berdampak pada lingkungan hidup sudah dilakukan, apakah dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pemilik melampaui kewenangan dan melanggar hukum ketika melakukan tindakan menebang pohon dan merubah permukaan tanah? Logika hukum yang terbentuk pada ketentuan mengenai ijin lingkungan adalah Menteri, Gubernur dan Walikota wajib menolak permohonan ijin lingkungan apabila tidak dilengkapi Amdal (Pasal 37 ayat (1) UU PPLH). Tentunya, karena ijin lingkungan belum ada maka ijin usaha dan/atau kegiatan belum ada.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah ada kewenangan yang diberikan untuk menolak AMDAL apabila ternyata usaha dan/atau tindakan yang mempengaruhi lingkungan hidup sudah dilakukan? Dasar penolakan dapat mengacu pada Pasal 69 ayat (1) UU PPLH yang melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Penebangan pohon dan perubahan permukaan dapat memenuhi kriteria perusakan lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 16 UU PPLH yaitu tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan.
Pemikiran mengenai penolakan adalah bagian dari wacana mengevaluasi dan merefleksi tindakan yang sudah dilakukan. Tindakan yang diduga tanpa hak terhadap lingkungan hidup, dan menimbulkan dampak dan/atau kerusakan lingkungan hidup baik saat ini atau masa yang akan datang. Pertanyaan terakhir adalah adakah yang peduli terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi dan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tindakan yang sudah dilakukan terhadap lereng bukit di Tegal Ombo tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H